Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kembali ke Budaya Minum Teh

Kompas.com - 08/03/2012, 14:16 WIB

KOMPAS.com - Teh itu sebenarnya minuman paling populer di Indonesia, selain air putih. Coba, saat makan siang, banyak dari kita yang memesan teh tawar atau es teh manis untuk menggelontor makanan agar lancar saat menerobos kerongkongan. Ketika merasa haus usai berpanas-panas di luar, Anda pasti ingin meneguk teh dingin dalam kemasan botol. Di supermarket, berbagai merek teh dengan banyak varian rasa pun ditawarkan.

Tetapi kenapa ya, begitu masuk ke mall, Anda langsung memilih masuk gerai kopi? "Ngopi-ngopi, yuk," begitu undang Anda pada teman-teman atau klien. Mengapa tak pernah ada undangan "ngeteh-ngeteh?"

Tampaknya, teh saat memang cenderung dijadikan sebagai minuman pemuas dahaga saja. Teh tidak lagi menjadi budaya, apalagi gaya hidup, di kalangan generasi muda. Orang lebih bangga ketika nongkrong di kedai kopi; lebih gaya dan sophisticated rasanya. Kita juga lebih ikhlas ketika merogoh kantong untuk membeli secangkir kopi dengan harga Rp 30.000-an, ketimbang membayar es teh manis yang harganya cuma lebih mahal Rp 1.000 daripada di warung sebelah.

Padahal, teh merupakan bagian dari sejarah, budaya, status sosial, dan kepribadian bangsa. Di China, menyajikan teh merupakan suatu bentuk penghormatan bagi tamu. Di Tibet, teh yang dicampur dengan mentega dari hewan yak diminum untuk menghangatkan tubuh. Di Inggris, teh yang diminum dengan campuran susu merupakan minuman para bangsawan. Sementara, teh yang dikonsumsi secara dingin dengan tambahan es, saat ini sedang populer di Amerika.

"Secara history, teh itu sebenarnya lebih menarik daripada kopi. Hanya saja, pemain bisnis kopi tampaknya lebih agresif. Mereka mampu membuat packaging yang dapat diterima oleh anak muda," tutur Leonard Theosabrata, desainer produk yang juga penggemar teh, saat bincang-bincang tentang teh di Teater Salihara, Jakarta, Selasa (6/3/2012) lalu.

Gerai kopi mudah sekali ditemukan di setiap mall atau gedung perkantoran. Kedai kopi lokal maupun internasional, sama meriahnya di sini. Sementara, tea house di Indonesia tidak banyak ditemukan. Jika pun ada, peminatnya tak banyak, kebanyakan orang tua pula. Namun bagi Leo, perbedaan mengenai keberadaan gerai kopi dan gerai teh hanya masalah pendekatan. "Nah, sekarang bagaimana caranya membuat teh menjadi relevan di kalangan anak muda," katanya.

Selain itu, segala hal yang berbau tradisi biasanya memang tidak identik dengan anak muda. Mereka tak menangkap esensi dari proses pembuatan, penyajian, dan tata cara minum teh yang complicated, dan menyimpan makna filosofis tertentu. Anak muda lebih menyukai hal-hal yang praktis, moderen, dan populer. Sayangnya, kesan itu masih jauh dari teh.

Ratna Somantri, pendiri Komunitas Pecinta Teh, punya pendapat yang sama. Mindset tentang teh yang serba kuno dan tradisional harus diubah. Memang butuh waktu yang lama untuk mengubah mindset ini. "Tetapi kita bisa memulainya dengan menulis bahwa teh itu sesuatu yang hype. Kalau ada yang bilang, 'kalau nggak ke gerai kopi itu nggak gaul', teh juga harus dibuat seperti ini," ungkap perempuan yang telah memelajari teh langsung dari tea master di Hongkong, China, Malaysia, dan Jepang ini.

Untuk memenuhi selera kaum muda akan rasa teh yang lebih variatif, produsen teh saat ini sudah menghadirkan berbagai varian rasa baru. Kandungan dan rasa yang baru ini umumnya memudahkan teh untuk dikombinasikan dengan bahan-bahan lain seperti buah-buahan, bunga, madu, susu, dan lain-lain. Penyajiannya pun sudah lebih cepat dan unik.

Ada beberapa cara lain untuk menjadikan teh bagian dari budaya pop. Menurut Leo, di gerai kopi ada istilah barista, dan barista bisa menjadi "bintang" di gerai tersebut. Pelanggan bisa menyaksikan bagaimana barista mempertunjukkan kebolehannya meracik kopi. Dalam dunia teh mungkin ada istilah seperti tea connoisseur, merujuk pada orang yang sangat menggemari teh dan memelajarinya secara serius seperti Ratna. Namun produsen teh bisa menciptakan vocabulary baru yang lebih akrab di telinga kaum muda.

"Trendy key point itu penting, karena anak muda terbiasa dengan bahasa Twitter yang serbapraktis," tambah Leo.

Melihat sejarahnya, seharusnya teh memiliki pasar yang lebih luas. Namun untuk mempopulerkan kembali budaya minum teh pada kaum muda, kuncinya bukan pada tinjauan kilas balik, melainkan pandangan ke masa depan. Dan produsen teh mestinya lebih kreatif dalam melakukan pendekatan-pendekatan tersebut.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com