Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menyulam, "Life Skill" untuk Perempuan Mandiri

Kompas.com - 10/04/2012, 22:31 WIB

KOMPAS.com - Menyulam bukan hal baru bagi masyarakat Indonesia. Anak-anak dan perempuan di berbagai daerah, telah lama berkenalan dengan keterampilan yang sebenarnya bernilai seni juga ekonomi tinggi ini.

Di Lampung, perempuan muda yang hendak menikah diwajibkan memakai kain dengan sulaman buatan tangannya di hari pernikahan. Perempuan Sumatera Barat juga wajib menguasai keterampilan menyulam sebelum menikah. Menyulam juga merupakan kurikulum wajib di sekolah yang biasanya diterapkan di tingkat Sekolah Dasar. Sebagian dari Anda mungkin juga pernah memelajari sulam saat sekolah, atau keponakan yang kini duduk di bangku SD boleh jadi masih harus mengikuti ujian menyulam.

Keterampilan sederhana yang membudaya ini nyatanya telah memberikan life skill bernilai. Kini, tak sedikit perempuan yang sukses mandiri dan berdaya, menjadi pengusaha dan perajin sulam. Warisan budaya pun tetap terpelihara karena perempuan mau dan mampu meneruskan budaya menyulam.

Sri Nur Laila, perajin dan pengusaha Sulam Tapis dan Sulam Usus Lampung membuktikannya. Kebiasaan menyulam dilakukan turun temurun di keluarganya. Bersuamikan pengusaha sulam yang meneruskan bisnis keluarga, Laila aktif memberdayakan 400 perajin di Lampung (75 persen perempuan) yang bekerja dalam skala industri rumahan. Di Bandung, Asri Ipindhari juga sukses mengembangkan Sulam Pita menjadi produk fashion dan aksesori, seperti tas, gantungan kunci, dan berbagai produk fungsional lainnya yang khas dengan sentuhan sulam.

Dalam sambutannya di peluncuran buku referensi sulam, Ibu Negara Ani Yudhoyono mengatakan sulam bukan sekadar kain dan benang. "Sulam merupakan karya seni tinggi," ungkapnya saat meresmikan peluncuran buku Adikriya Sulam Indonesia, karya Triesna Jero Wacik pendiri Yayasan Sulam Indonesia, di Jakarta, Selasa (10/4/2012). Ani melanjutkan, menyulam mengandalkan kesabaran, ketekunan, ketelitian, kepekaan, keterampilan dengan memerhatikan unsur keindahan.

Banyak andil perempuan di balik kegiatan menyulam. Kegiatan bernilai seni, yang kerap dianggap miliknya perempuan, kaum ibu, dan para orang tua. Padahal, warisan budaya ini nyatanya bisa mengangkat derajat kaum hawa yang berhasil mandiri lantaran setia pada sulam.

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Mari Elka Pangestu mengatakan kriya sulam di Indonesia bukan semata ada, tetapi terus berkembang dengan kreativitas yang tak ada matinya. "Tangan perempuan tak bisa diam. Kapan ada waktu senggang, mereka menyulam," tutunya dalam acara yang sama. Menurutnya, tradisi di Indonesia, termasuk menyulam, adalah sesuatu yang hidup dan berkembang, bukan sesuatu yang sudah punah lalu berusaha untuk dibangkitkan melalui berbagai cara.

Karenanya, melestarikan sulam sebagai warisan budaya sama dengan menjaga bahan baku yang dapat dikembangkan pelaku ekonomi kreatif dengan berbagai cara. Seperti mengembangkan sulam menjadi produk yang bisa dipakai sehari-hari, melestarikannya dengan memberikan apresiasi pada perajin, juga memberikan pengetahuan secara turun temurun dari usia dini agar sulam tetap lestari.

"Saya ingat dulu, ibu saya rajin menyulam dan membuat bordir. Sementara saat kecil saya tomboy, lebih suka naik pohon daripada mengikuti saran ibu untuk menyulam. Saya tidak mau belajar menyulam saat kecil, dan sekarang saya menyesal," kisahnya.

Ibu Negara pun memiliki kisah serupa, sulam menjadi pelajaran keterampilan wajib dalam keluarga, dengan orangtua sebagai gurunya. "Ibu dan sekolah mengharuskan saya belajar menjahit dan menyulam. Saya ingat kelas 6 SD, saya harus mengikuti ujian akhir prakarya, diminta membuat bantal dijahit dengan motif kotak catur, dan itu tidak mudah, saya harus melakukannya berulang-ulang hingga akhirnya lulus ujian," tututrnya.

Berbagai kisah ini menjadi bukti betapa sulam sebenarnya sudah lama memasyarakat. Keterampilan keputrian, begitulah masyarakat tradisional menyebut kegiatan kreatif termasuk menyulam, yang tujuannya memberikan bekal pada perempuan dalam berumah tangga. Sederhana pesan dan maknanya, dan nyatanya sulam memang mampu menjadi bekal perempuan memberikan kontribusi finansial terhadap rumah tangga.

"Sulam nusantara terkesan kurang percaya diri untuk berkembang, tidak seperti batik yang kini menjadi budaya baru bahkan fashion. Saya berharap sulam menuju ke sana. Menjadi virus budaya dan lifestyle. Ini menjadi tantangannya, bagaimana meningkatkan image sulam, meningkatkan inovasi dan kreativitas, menciptakan karya baru dengan nilai tambah, sehingga membuka peluang lebih besar untuk menarik minat," jelas Ani.

Sulam telah lama menjadi kultur dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Dan semestinya sulam berhak mendapatkan apresiasi dan pencitraan yang lebih baik. Ani menambahkan, buku Adikriya Sulam Nusantara dapat menjadi panggilan untuk semua pihak termasuk seniman Indonesia dalam memaknai sulam sebagai karya seni, bukan sekadar hiasan pelengkap.

"Di masa jayanya dulu, sulam sudah menjadi lifestyle. Kini sulam terkesan hanya kegiatan kaum ibu dan nenek. Jika generasi muda terputus dengan sulam, masa depan sulam mengkhawatirkan," ungkapnya.

Tantangannya kini adalah sulam kembali menjadi lifestyle, berkembang lebih kreatif, tak semata dipandang hiasan tapi lebih kepada karya seni dan menjadikannya produk niaga, tak lagi menganggap menganggap menyulam hanya kegiatan di waktu senggang perempuan, tapi justru dapat menjadi life skill untuk perempuan lebih berdaya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com