Hal itu dikemukakan Direktur Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kementerian Kesehatan Slamet Riyadi Yuwono, Senin (12/11), di Jakarta.
Kendala penurunan angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB), antara lain, disparitas wilayah karena faktor geografis, tenaga kesehatan belum merata, dan komitmen pemerintah daerah membangun kesehatan ibu dan anak. Selain itu, kesehatan ialah hilir dari berbagai masalah sektor lain yang belum terselesaikan, misalnya gizi buruk akibat rawan pangan dan diare akibat sulit air bersih.
Untuk menurunkan AKI dan AKB, pemerintah menyediakan jaminan persalinan (jampersal), bantuan operasional kesehatan untuk kegiatan posyandu dan puskesmas, penyebaran bidan di desa, meningkatkan distribusi dokter ke daerah. Selain itu dilakukan peningkatan kualitas pelayanan kesehatan, pelatihan tenaga kesehatan, melengkapi peralatan, penguatan manajemen daerah, penyediaan standar dan buku panduan, serta supervisi dan evaluasi berkala.
”Di era otonomi daerah, jajaran kesehatan di kabupaten/kota harus diberdayakan untuk mampu mengidentifikasi masalah. Kemenkes membantu daerah untuk membuat roadmap penyelesaian masalah,” katanya.
Untuk meningkatkan distribusi dokter, Kemenkes bekerja sa-
Diharapkan dengan upaya-upaya itu target tujuan pembangunan milenium (MDG) 4, yakni AKB 32 per 1.000 kelahiran hidup dan target tujuan MDG 5, AKI 228 per 100.000 kelahiran hidup, tercapai tahun 2015.
Utusan khusus Presiden RI untuk MDG, Nila Moeloek, lewat surat elektronik dari Manila, Kamis (8/11), menyatakan, kunci efektivitas terobosan adalah integrasi dan inovasi. Karena itu, perlu menggabungkan kekuatan lintas sektor dan secara inovatif, kreatif serta strategis mempergunakan berbagai sumber daya.
Itu diterapkan pada Gerakan Pencerah Nusantara, pengiriman tim kesehatan terdiri dari dokter, bidan, dan perawat ke daerah.
Sistem rujukan
Rukmono Siswishanto, dokter spesialis obstetri ginekologi dari FK UGM/RS dr Sardjito, Yogyakarta, menuturkan, di Jawa, 90 persen kematian ibu bersalin terjadi di rumah sakit. Hal ini karena sistem rujukan tidak baik.
Ia berpendapat, perlu ada reformasi kesehatan. Pembenahan harus komprehensif. Dari aspek pembiayaan, sistem pembayaran, (pembagian fee antara bidan, puskesmas, dan rumah sakit), pengorganisasian (sistem rujukan dan jadwal jaga rumah sakit), regulasi (menyinkronkan seluruh penyedia layanan kesehatan), dan persuasi (mengajak para pemangku kepentingan, termasuk masyarakat, memahami sistem).
Di era otonomi daerah, penyelesaian masalah harus diinisiasi daerah. Perlu komitmen kepala daerah dan dinas kesehatan untuk melakukan terobosan luar biasa. Penurunan AKI, AKB, dan AKBA perlu dijadikan indikator kinerja kepala daerah. Masyarakat perlu diberdayakan untuk menyadari kebutuhannya dan memilih kepala daerah yang bisa mengakomodasi hal itu.
Untuk menurunkan AKI di Surabaya akibat keterlambatan rujukan, menurut Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Surabaya Sri Setiyani, 31 Oktober, 52 rumah sakit swasta dan pemerintah sepakat memberikan penanganan gawat darurat kepada ibu bersalin dengan jampersal tanpa biaya. ”Setelah kondisi ibu dan bayi stabil, petugas merujuk ke rumah sakit pemerintah,” katanya.