Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Yang Kaya Belum Tentu Bahagia

Kompas.com - 23/12/2012, 03:05 WIB

Anda mengira negara yang kaya, makmur, maju, dan serba teratur akan menjamin rakyatnya hidup bahagia? Belum tentu.

Seklise apa pun kalimat ”kaya belum tentu membawa kebahagiaan”, itulah kenyataannya. Paling tidak menurut hasil jajak pendapat global yang digelar lembaga riset Gallup.

Berdasarkan jajak pendapat yang disiarkan Rabu (19/12) itu, Singapura berada di urutan paling buncit dalam daftar negara-negara dengan penduduk beremosi paling positif sedunia.

Artinya, penduduk Singapura merasa sebagai orang paling tidak bahagia sedunia. Padahal, kurang apa lagi negara tetangga kita itu?

Gallup menggelar survei itu sepanjang tahun 2011. Lembaga tersebut mewawancara hampir 150.000 responden di 148 negara di dunia.

Mereka mengajukan lima pertanyaan yang dianggap mewakili emosi positif seseorang terhadap hidupnya. Apakah Anda beristirahat dengan cukup? Apakah Anda diperlakukan dengan hormat oleh orang lain sepanjang hari? Apakah Anda sering tertawa dan tersenyum? Apakah Anda telah mempelajari atau melakukan sesuatu yang menarik? Apakah kemarin Anda merasakan kegembiraan?

Jika mayoritas jawaban itu ”Ya”, kira-kira Anda masuk kategori orang bahagia di dunia.

Yang mengejutkan, negara-negara yang masuk 10 besar daftar tersebut bukanlah negara yang kaya dan makmur. Panama, negara yang berada di urutan ke-90 dalam hal produk domestik bruto per kapita menempati tempat pertama.

Sebanyak 85 persen responden di Panama menjawab ”Ya” pada semua pertanyaan di atas. Demikian pula responden di Paraguay, negara yang berada di urutan ke-107 Indeks Pembangunan Manusia 2011.

   Delapan negara lain dalam 10 besar adalah El Salvador, Venezuela, Trinidad-Tobago, Thailand, Guatemala, Filipina, Ekuador, dan Kosta Rika. Sebaliknya, negara-negara maju, seperti Jerman dan Perancis, berada di posisi ke-47, berbagi tempat dengan kawasan Somaliland— negeri sempalan Somalia.

Nilai budaya

Dominasi negara-negara Amerika Latin pada daftar 10 besar diduga kuat terkait dengan nilai-nilai dasar budaya masyarakat kawasan itu.

Masyarakat Amerika Latin dikenal fokus pada hal-hal positif yang mendatangkan kebahagiaan, seperti teman-teman, keluarga, dan kegiatan keagamaan, meski kehidupan sehari-hari mereka susah dan kadang penuh bahaya.

  Carlos Martinez, warga Panama City, mengaku tingkat kriminalitas dan kemacetan lalu lintas di kotanya meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Dia tidak senang melihat semua itu, tetapi dia mengaku bahagia dengan keluarganya.

”Orang Karibia seperti kami ini suka perayaan, suka makan enak, dan hidup seenak mungkin. Banyak peluang di sini, Anda hanya perlu berkorban sedikit,” papar Martinez, yang bekerja sebagai pekerja bangunan di Panama City.

Faktor keluarga juga menjadi pemicu kebahagiaan bagi Felicio Sayat (35), petugas satpam di Manila, Filipina. ”Berkumpul dengan keluarga sudah membuat saya bahagia. Kami bersenang-senang bersama, berdoa bersama. Selama kami semua sehat, saya bahagia,” tuturnya.

Sebaliknya, hidup yang dituntut serba sempurna di Singapura justru membuat orang merasa kurang bahagia.

”Ada banyak tekanan untuk tampil sesuai harapan (orang lain) dan mematuhi semua norma yang berlaku di sini, sampai-sampai itu mengesampingkan kebahagiaan pribadi,” tutur Fung Yeewai (25), seorang guru paruh waktu di Singapura.

Menurut Fung, mayoritas anak didiknya sangat fokus dan menghabiskan waktu sangat panjang di sekolah. ”Sebagai guru, saya tentunya menginginkan yang terbaik bagi mereka, tetapi saya juga merasa mereka telah kehilangan masa kanak-kanak mereka,” ujar Fung.

   Richard Low (33), pebisnis sukses di Singapura, mengeluhkan tak imbangnya proporsi antara mengejar karier dan menikmati hidup. ”Kami di sini bekerja seperti anjing dan dibayar rendah. Hampir tak ada waktu untuk berlibur atau sekadar santai karena Anda harus selalu berpikir ke depan: kapan tenggat dan jadwal rapat mendatang?” tandasnya.

Jadi alasan

Para pengkritik jajak pendapat itu menyebut risiko bahaya menilai sebuah negara dari persepsi positif warganya saja. Salah-salah, hal itu bisa dijadikan pemerintah negara yang bersangkutan sebagai alasan untuk tak membuat perbaikan dalam taraf kehidupan riil rakyatnya.

Eduardo Lora, mantan ekonom kepala di Inter-American Development Bank, juga memperingatkan adanya bias kultural dalam survei semacam ini. Masyarakat Amerika Latin, kata Lora, cenderung menjawab semua pertanyaan secara positif, termasuk yang diajukan dalam survei Gallup ini.

Meski demikian, pihak Gallup menyebut, faktor bias kultural itu sudah diperhitungkan, dan orang- orang yang skeptis dengan hasil jajak pendapat ini tak bisa meremehkan begitu saja ekspresi emosi positif para responden.

”Ekspresi mereka itu adalah realitas, dan itulah yang kami coba kuantifikasi,” kata Jon Clifton, salah satu peneliti di Gallup.

Faktanya, beberapa negara maju kini mulai menerapkan acuan baru untuk menera keberhasilan pemerintah menyejahterakan rakyatnya. Mereka menerapkan apa yang dinamakan ”ekonomi kebahagiaan” (happiness economics), yang menambahkan faktor persepsi masyarakat di luar sejumlah standar kuantitatif selama ini, seperti usia harapan hidup, pendapatan per kapita, dan tingkat kelulusan sekolah.

Perdana Menteri Inggris David Cameron, misalnya, meluncurkan program kesejahteraan rakyat yang melibatkan survei terhadap 200.000 rakyat Inggris. Salah satu pertanyaan dalam survei itu adalah ”Seberapa puaskah Anda dengan hidup Anda saat ini?”.

Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), yang beranggotakan 34 negara paling maju di dunia, baru-baru ini menerapkan Indeks Kehidupan yang Lebih Baik (Better Life Index). Indeks itu memperbandingkan negara-negara berdasarkan kualitas hidup warganya, di luar patokan-patokan kesejahteraan materi yang selama ini dipakai.

Kembali ke hasil jajak pendapat Gallup itu, Indonesia berada di urutan ke-19 dari 148 negara. Orang Indonesia dinilai lebih bahagia daripada orang Selandia Baru (urutan ke-21), AS (33), dan Jepang (59).

   Bagaimana dengan Anda? Sudahkah Anda merasa bahagia hidup di negeri ini...? (AP/DHF)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com