Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Si Kecil Masih Dianggap Biang Masalah

Kompas.com - 07/01/2013, 02:57 WIB

Sejak November 2012, Hoiza Siregar sering menerima pertanyaan yang sama dari pedagang kaki lima. Ketua Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia itu ditanya mengenai kelanjutan penataan PKL. Pertanyaan seperti ini berulang kali muncul sejak berembus ”angin surga” penataan PKL oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Seiring dengan kabar itu, PKL membayangkan adanya perlindungan dan tempat berdagang yang layak di Ibu Kota. PKL senang mereka tidak lagi dianggap sebagai sumber masalah kota, tetapi sebagai warga yang memiliki hak hidup dan berwirausaha.

Namun, janji itu masih sebatas janji. Menurut Hoiza, sampai saat ini belum ada perkembangan. ”Kami juga menunggu, sudah banyak tawaran ide yang kami sampaikan. Bagi kami, yang penting bukan pindah ke dalam pasar, tetapi kami ingin tetap bisa berdagang. Percuma saja jika pindah tempat, tetapi dagangan kami tidak laku,” katanya.

Akhir November 2012, Pemprov DKI menggelar pertemuan dengan Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia (APKLI) membicarakan penataan PKL dengan cara memasukkan mereka ke seluruh lapak kosong di pasar-pasar tradisional. PKL juga akan ditampung di sejumlah pusat perbelanjaan modern dan dibuat kantong-kantong PKL baru. Cara ini dilakukan untuk menampung PKL yang menurut APKLI diklaim mencapai 300.000 orang.

Hoiza berpendapat penataan PKL tidak harus memindahkan pedagang ke lokasi baru. Pemindahan pedagang belum tentu menjadi solusi, misalnya bagi pedagang gorengan. Hoiza tidak yakin pedagang gorengan itu akan laku.

Alasan Hoiza, pembeli gorengan umumnya adalah konsumen pelintas di pinggir jalan. ”Saya ingin penataan itu bukan dengan cara menggusur, melainkan mengatur waktu jualannya sehingga tidak mengganggu lalu lintas kendaraan,” katanya.

Tempat strategis

Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Tutum Rahanta sependapat dengan Hoiza. Keberadaan PKL di kota besar tidak ada yang salah. Yang salah selama ini adalah pola pendekatan kepada mereka.

Tutum mencontohkan pola penataan PKL yang baik di sepanjang Jalan Malioboro, Yogyakarta, dan di Bangkok, Thailand. Di dua tempat itu, PKL dapat berjualan di perlintasan orang di pusat kota. Mereka bisa hidup tanpa merugikan kepentingan umum. Mereka memiliki disiplin yang tinggi, baik soal kebersihan, kualitas makanan, maupun produk yang dijual, dan tertib waktu.

Karena itu, akan salah jika memaksakan memasukkan PKL ke dalam pasar. Usaha para PKL pasti sulit dijual karena nyawa mereka memang ada di lokasi yang paling strategis, yaitu di dekat perlintasan orang. Biarkan mereka di trotoar dan di depan pusat perbelanjaan asalkan waktunya diatur, kebersihannya dikontrol, dan produknya unik.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com