Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 11/01/2013, 21:59 WIB

KOMPAS.com - Tahun ini, Nila Tanzil ingin membuka Taman Bacaan Pelangi di Papua. Ia juga menyiapkan pendirian yayasan untuk menaungi taman bacaan yang sudah beroperasi di 25 titik di Indonesia timur itu.

Sudah tiga tahun, eksekutif salah satu produsen alat olahraga itu menggerakkan Taman Bacaan Pelangi (TBP). Bermula dari Roe, Nusa Tenggara Timur, pada November 2009, kini TBP beroperasi di Flores, Atambua, Makassar, Lombok Timur, Sumbawa, dan Maluku.

Di sela kerjanya di Jakarta, Nila Tanzil menyempatkan diri terbang ke Indonesia Timur. Perempuan itu berkunjung Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Maluku. Di sana ia menemukan kebahagiaan dari berbagi buku lewat TBP. ”Saya bersama penduduk setempat menyediakan bacaan bagi anak-anak,” kata penyuka olahraga selam ini.

Tidak satu pun dari 30 pengelola TBP menerima bayaran materi. Mereka puas melihat anak-anak menyukai buku-buku di TBP. ”Pernah ada anak bercerita, dia mendapat nilai 9 di IPA karena membaca buku di TBP, bukan buku sekolah. Bahagia sekali mendengarnya,” ujarnya.

Namun, tujuan pendirian TBP tidak hanya agar anak mendapat nilai bagus pada pelajaran di sekolah. Nila ingin hak anak-anak terhadap bacaan bermutu terpenuhi. Anak-anak berhak mendapatkan nutrisi bagi perkembangan pikiran dan jiwa. Buku membantu anak-anak menjangkau tempat-tempat yang jauh dan tidak terbayangkan oleh mereka.

”Banyak kisah tentang anak-anak yang berani bermimpi besar setelah membaca buku. Dalam keterbatasan di tempat asalnya, mereka berani bermimpi tentang dunia luar,” ujarnya.

Namun, banyak anak seperti di Kampung Roe tidak memiliki akses terhadap buku. Mereka jauh dari perpustakaan dan keadaan tidak memungkinkan mereka membeli buku sendiri.

Dari pelesir
Mimpi dan hak anak-anak itulah mendorong TBP didirikan. TBP bermula dari pelesir Nila ke Kampung Roe di NTT. Kala itu, ia bekerja di lembaga konservasi untuk Pulau Komodo. Di sela waktu tugas, ia pelesiran di pelosok NTT. Kunjungan ke Kampung Roe membekas di benaknya.

”Sedih melihat keterbatasan di sana. Anak-anak di sana tidak punya bacaan, berbeda saat saya kecil yang punya buku,” katanya.

Sedih tidak menyelesaikan masalah. Dia memutuskan prioritas langkah menyelesaikan masalah yang dilihatnya di Roe. Nila memulai dengan mengontak keluarga Avent Abu agar keluarga guru itu mau menyediakan tempat untuk meletakkan buku.

”Halaman rumahnya luas, ada pohon dan tempat duduk di bawahnya. Saya bayangkan anak-anak membaca, sebagian lagi bermain saat lelah membaca. Apalagi rumahnya di sebelah SD, jadi mudah diakses anak-anak,” ujarnya.

Setelah keluarga Avent setuju, Nila mencari cara mendapatkan pustaka. Karena sulit mencari di NTT, ia ke Jakarta. Di Jakarta, ia menghubungi Kompas Gramedia dan meminta potongan harga untuk pembelian buku anak.

Pembelian pertama menghabiskan Rp 5 juta dari dana pribadinya dan Nila mendapat potongan harga 30 persen. ”Pada pembelian kedua, saya diberi daftar dan memilih sendiri di gudang penerbit. Saya orang spontan, kadang nekat, ha-ha...,” ujarnya.

Pola di rumah Avent diterapkan di 24 TBP lain. Ia terlebih dahulu mencari warga yang bersedia menjadikan rumahnya sebagai taman bacaan. Setelah setuju, Nila akan mengirimkan rak buku serta aneka pustaka. ”Setiap tiga bulan, koleksinya ditukar antara satu taman dengan taman lain,” tuturnya.

Saat TBP baru berdiri di Flores, Nila mengurus sendiri pengantaran buku. ”Kalau terbang ke Flores, bagasi saya sering berlebih karena membawa buku anak-anak,” katanya.

Sekarang, tidak semua buku diantar sendiri. Sebagian dititipkan ke kawan-kawannya yang menuju kota terdekat dari tempat TBP berdiri. Di kota-kota itu ada relawan menjemput pustaka, lalu mengantarkan ke sejumlah TBP. ”Ada banyak orang hebat membantu taman bacaan ini,” tuturnya.

Kendala
TBP tidak selalu berjalan lancar. Salah satu TBP di NTT pernah tidak bisa diakses anak-anak karena lemari penyimpanan dikunci pemilik rumah. ”Saya tahu waktu mau rotasi koleksi. Saya tak melihat anak-anak dan buku-bukunya licin-licin seperti tidak pernah dibuka. Saya sudah merasa enggak enak dan ada yang enggak beres,” ujar Nila.

Ternyata anak-anak jarang datang ke TBP karena nelayan yang dititipi buku lebih sering mengunci lemari dan kuncinya dibawa melaut. Nelayan itu khawatir buku-buku rusak karena dibaca anak-anak tanpa pengawasan pengelola. ”Saya lebih suka buku-buku rusak karena dibaca daripada tetap licin di lemari,” tuturnya.

Nila juga sedang mencari cara membuat yayasan untuk menaungi TBP, yang selama ini berjalan tanpa badan hukum. ”Dulu saya berpikir, yang penting jalan dulu. Enggak usah repot soal badan hukum dan lain-lain,” ujarnya.

Namun, semakin banyak koleganya menyarankan TBP dinaungi yayasan. Alasannya, dampak TBP akan terus terbatas karena kemampuan pengelolanya terbatas. Sementara untuk melibatkan pihak lain, ada syarat-syarat harus dipenuhi. ”Saya pikir, saran mereka benar juga. Banyak program CSR perusahaan bisa dimanfaatkan kalau TBP dinaungi yayasan,” tuturnya.

”Saya sedang pelajari dulu caranya, untung-ruginya. Kalau benar-benar perlu, nanti dibuat yayasan atau badan hukum lain untuk menaungi TBP,” ujarnya.

Sementara sebelum ada penaung, TBP tetap berjalan. Dari satu pulau ke pulau lain, TBP didirikan. Lewat TBP, Nila mendorong anak-anak berani bermimpi tentang dunia yang jauh lebih luas, yang sama sekali berbeda dari kampung mereka yang terpencil. ”Buku jendela dunia. Lewat buku, imajinasi bisa ke mana-mana,” pungkasnya.   

(Kris R Mada)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com