JAKARTA, KOMPAS.com - Selama hampir lima belas tahun terakhir, Clarks dianggap sebagai brand sepatu yang hanya cocok dipakai orang-orang tua.
Walau nyaman dipakai, namun desainnya yang kuno membuat kebanyakan orang, termasuk kamu, mungkin lebih memilih mengenakan sneakers kekinian untuk menemani aktivitas sepanjang hari, entah itu bekerja, hang out, atau jalan-jalan.
Hanya segelintir orang yang masih memakai Clarks, itupun karena alasan nostalgia atau benar-benar mencari sepatu yang nyaman di kaki, bukan karena gengsi ingin dipuji.
Tak heran pula jika tahun lalu Clarks menutup semua outletnya di Indonesia, setelah didahului dengan diskon besar-besaran. Brand sepatu asal Inggris itu seolah menyerah pada pasar di tanah air yang dipenuhi pemain-pemain muda.
Namun benarkah brand yang menciptakan sepatu ikonik Desert Boots itu benar-benar angkat tangan? Ternyata tidak. Akhir tahun lalu, Clarks kembali ke Indonesia dengan konsep baru dan partner berbeda.
Nagy yang berbincang-bincang dengan Kompas.com saat meresmikan gerai Clarks di Pondok Indah Mal mengakui bahwa brand ini seolah terputus dari konsumen selama 15 tahun.
Menurutnya, akar dari masalah tersebut sebenarnya sederhana. Sejak tahun 2000 hingga 2015, brand ini tidak benar-benar melakukan inovasi.
"Kami fokus pada pembuatan sepatu yang nyaman tanpa memperhatikan bahwa konsumen berubah, dan apakah produk yang kita buat adalah sepatu yang ingin dibeli konsumen," paparnya dalam bahasa Inggris dengan logat Prancis yang kental.
"Kami terbiasa mendikte konsumen. Kami yang punya brand, maka kami akan menentukan apa yang sebaiknya dipakai pembeli. Pembeli harus percaya pada kami," lanjutnya.
Dari kuno jadi modern
Sementara Clarks adalah perusahaan yang kental dengan tradisi sejak berdiri 193 tahun yang lalu. Brand ini memerlukan 10 hingga 15 tahun untuk memahami perubahan perilaku konsumen. Ini yang memberi dampak negatif pada penjualannya.
Untunglah pada tahun 2015, ada perubahan kepemimpinan di perusahaan. Clarks yang merupakan perusahaan keluarga, untuk pertama kalinya melakukan pendekatan berbeda terhadap pasar.
"Untungnya juga bahwa saat itu kerjasama Clarks dengan operator sebelumnya di Indonesia segera berakhir," lanjut Nagy.
Pasalnya, salah satu problem yang dihadapi di Indonesia saat itu, adalah bahwa toko-toko Clarks di Indonesia dijalankan dengan cara kuno.
"Artinya, saat kamu memasuki toko, kamu akan melihat sepatu-sepatu kami tidak dikelompokkan dalam grup yang berbeda atau harga berbeda, dan kebanyakan dijual dengan harga 10-15 persen lebih tinggi dibanding harga di Singapura," ujar Nagy.
Menurut Nagy, itu adalah masalah besar. Alasannya, konsumen akan berpikir Clarks hanya menjual sepatu untuk usia tertentu, bukan untuk semua orang, dan harganya terlalu mahal.
"Yang kami lakukan saat ini adalah mengubah persepsi itu. Kami tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama," papar pria yang bergabung dengan Clarks sejak Juni 2017 itu.
Sepatu jadi bintangnya
Di gerai-gerai baru yang menggunakan dinding berwarna netral dan lantai kayu senada ini "sepatu-sepatu menjadi bintangnya". Lampu-lampu pun ditata untuk menampilkan jajaran sepatu dalam rak menjadi lebih menarik.
Saat memasuki gerai, suasananya akan seperti galeri modern yang terang, sesuai dengan tema yang diusung yakni kesederhanaan dan kejujuran.
Konsep yang dipakai di seluruh gerai Clarks ini adalah Pure alias kemurnian. Pure terkait dengan kejujuran, hal yang menjadi filosofi di balik sepatu Clarks.
Konsep inilah yang akan kita temukan di outlet-outlet terbaru Clarks di Pondok Indah Mall, Paris Van Java Mall dan Mall Kelapa Gading.
Sepatu untuk setiap orang
Sebagai brand yang sudah ada sejak 1825, Clarks sebenarnya tidak asing dengan inovasi.
"Dengan usia hampir 200 tahun, Clarks adalah salah satu brand pembuat sepatu tertua di dunia. Dan bila kita melihat sejarah perusahaan ini kamu akan melihat bahwa Clarks sebenarnya brand yang sangat inovatif," ujar Nagy.
Banyak orang tidak tahu bahwa Clarks sudah membuat sistem bantalan pada sepatu agar nyaman dipakai, jauh sebelum brand-brand sneakers yang kini ngetop itu lahir.
"Mesin pertama yang membuat produk bantalan adalah buatan Clarks. Lalu jenis sepatu yang menyesuaikan bentuk kaki, adalah kreasi Clarks. Jadi banyak inovasi di bidang sepatu yang kita kenal saat ini sebenarnya berasal dari Clarks," lanjut Nagy.
Bisa disebut Clarks ikut membentuk industri sepatu yang kita lihat hari ini. Namun jejak itu seperti menghilang selama 15 tahun saat Clarks asyik dengan dirinya sendiri.
Baru pada tahun 2015, ketika chief brand officer Jason Beckley bergabung, Clarks mendapatkan kembali spirit inovasinya dengan membuat desain-desain baru bagi konsumen yang selama ini terabaikan, yaitu mereka yang berusia antara 10 hingga 40 tahun.
Namun yang dilakukan Clarks bukan sekedar meniru model-model terbaru yang sedang hits. Brand asal Somerset ini justru melihat kembali arsip mereka, yakni 22.000 pasang sepatu yang tersimpan di museum Clarks.
Jason Beckley menghabiskan waktu berminggu-minggu untuk mempelajari sepatu-sepatu yang pernah diciptakan Clarks. Desain-desain itu kemudian diterjemahkan kembali dalam rasa modern dan dibuat menggunakan keahlian Clarks.
Hasilnya, sekitar 3000 pasang sepatu dengan desain baru dimunculkan tiap tahun. Koleksi-koleksi itu meliputi sepatu anak, remaja, hingga dewasa. Dari sepatu resmi, casual, hingga sport atau Clarks menyebutnya Athleisure.
Agar lebih kekinian, Clarks juga berkolaborasi dengan Disney untuk menghadirkan sepatu-sepatu anak dengan tema karakter Disney. Bukan hanya Mickey Mouse, tapi juga Star Wars, Avengers, Lion King, Frozen dan lainnya.
Untuk mereka yang mengkoleksi sepatu-sepatu limited, Clarks bekerjasama dengan kelompok musik Wu Tang Clan, dengan brand yang sedang hype seperti Supreme, juga dengan Land Rover. Tapi koleksi-koleksi itu habis dalam sekejap.
Namun tidak melupakan sejarahnya, Clarks juga akan menghadirkan sepatu-sepatu ikoniknya di pasar Indonesia, di toko-toko khusus, seperti seri Desert Boots dan Wallabee.
Sementara kalangan milenial rupanya mendapat perhatian terbesar karena Clarks menghadirkan sub brand untuk generasi ini, yaitu CloudSteppers.
Cloudsteppers, seperti namanya, adalah sepatu casual yang berdesain menarik, ringan, nyaman dipakai, sekaligus terjangkau harganya. Desainnya terinspirasi dari sepatu athleisure.
CloudSteppers sudah diluncurkan di Indonesia September 2018 lalu, dan penjualannya sangat bagus, menurut Nagy. Dengan harga mulai dari Rp 599 ribu, sepatu ini cukup terjangkau, sehingga Clarks memberi tempat khusus pada koleksi ini.
Bahkan di mal Kelapa Gading, ada toko khusus CloudSteppers di sebelah Clarks. Ini adalah model pertama di dunia, di mana brand baru di bawah Clarks memiliki gerai sendiri.
"Kami ingin konsumen berpikir bahwa untuk sepatu casual, brand terbaik adalah Clarks. Itulah sebabnya kami memberi tempat untuk CloudSteppers, karena brand ini adalah representasi Clarks untuk konsumen muda," ujar Nagy.
Dengan konsep dan koleksi-koleksi terbarunya itu, Clarks kini siap untuk kembali memasuki pasar sepatu. Brand yang dahulu fokus membuat sepatu yang nyaman di kaki itu, kini juga membuat sepatu-sepatu yang tampak keren di kaki. Tertarik?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.