KOMPAS.com - Cerita Hachiko, anjing paling setia di dunia asal Jepang kini genap satu abad.
Kisah anjing pekerja (Akita Inu) berwarna putih krem ini lahir sudah banyak diabadikan mulai dari buku, film hingga sitkom fiksi ilmiah Futurama.
Bahkan filmnya di tahun 2009 yang dibintangi Richard Gere sukses menembus pasar box office.
Di Stasiun Shibuya, Tokyo, Hachiko juga diabadikan melalui patung perunggu dengan wujud dan ukuran yang sama.
Sejak popularitasnya meroket dan dikenal sebagai anjing paling setia karena menunggu sang pemiliknya, patung di Stasiun Shibuya pun tak pernah sepi jadi spot foto para pelancong di sana.
Patung perunggu itu pertama kali didirikan pada tahun 1934 yang kemudian dipoles ulang di era Perang Dunia II.
Pada saat itu, anak-anak sekolah di Jepang juga diajarkan kisah Chuken Hachiko sebagai contoh pengabdian dan kesetiaan.
"Hachiko juga mewakili sebagian besar tipikal warga Jepang yang terkenal akan kesetiaannya."
"Setia, dapat diandalkan, dan patuh pada seorang master, pengertian dan tidak bergantung pada rasionalitas," begitu kata Profesor Christine Yano dari Universitas Hawaii, seperti dilansir BBC.
Baca juga: Sinopsis Hachiko: A Dog’s Story, Kisah Nyata Anjing dan Majikannya
Ilustrasi anjing Akita inuHachiko lahir pada November 1923 di kota Odate, prefektur Akita.
Dia merupakan anjing ras Akita Inu yang merupakan salah satu ras anjing tertua dan paling populer di negeri Sakura.
"Anjing Akita memiliki karakter yang tenang, tulus, cerdas, berani dan patuh pada tuannya."
"Di sisi lain, ia juga memiliki kepribadian yang keras kepala dan mewaspadai siapapun selain tuannya," ungkap Eietsu Sakuraba, penulis buku anak-anak berbahasa Inggris tentang Hachiko.
Pada tahun kelahiran Hachiko, Hidesaburo Ueno, seorang profesor pertanian terkenal sekaligus pecinta anjing, meminta seorang siswa untuk mencarikannya seekor anak anjing Akita melalui surat kabar.
Setelah perjalanan kereta yang melelahkan, anak anjing tersebut tiba di kediaman Ueno di distrik Shibuya pada tanggal 15 Januari 1924, yang mana pada saat itu Hachiko awalnya dianggap sudah mati.
Menurut penulis biografi Hachiko, Prof. Mayumi Itoh, Ueno dan istrinya Yae merawatnya hingga sembuh selama enam bulan.
Ueno menamainya Hachi, atau delapan dalam bahasa Jepang. Ko adalah gelar kehormatan yang diberikan oleh murid-murid Ueno.
Baca juga: Alasan Ilmiah Anjing Setia kepada Pemiliknya
Poster film Hachiko: A Dog?s StoryDalam rutinitasnya, Ueno biasa naik kereta untuk bekerja beberapa kali seminggu.
Sepanjang perjalanannya menuju Stasiun, dia sering ditemani ketiga anjingnya, termasuk Hachiko.
Ketiganya kemudian akan menunggu di sana hingga Uneo pulang bekerja pada malam hari.
Setiap kali Uneo bekerja, Hachiko terus melakukan kegiatan yang sama dari pagi sampai malam.
Tepatnya pada 21 Mei 1925, Ueno, yang saat itu berusia 53 tahun, meninggal karena pendarahan otak. Sedangkan Hachiko baru bersamanya selama 16 bulan.
"Saat orang-orang sedang terjaga, Hachi mencium bau Ueno dari rumah dan masuk ke dalam ruang tamu. Dia merangkak di bawah peti mati dan menolak untuk bergerak," tulis Prof Itoh.
Hachiko menghabiskan beberapa bulan berikutnya dengan keluarga yang berbeda di luar Shibuya, tetapi akhirnya pada musim panas 1925, dia dirawat oleh tukang kebun Ueno, Kikusaburo Kobayashi.
Setelah kembali ke daerah tempat tinggal mendiang majikannya, Hachiko terus melanjutkan perjalanan hariannya ke stasiun tanpa menghiraukan kondisi cuaca entah itu hujan atau cerah.
"Pada malam hari, Hachi berdiri dengan empat kaki di gerbang tiket dan memandang setiap penumpang seolah-olah sedang mencari seseorang,” tulis Prof Itoh.
Karyawan stasiun awalnya melihatnya sebagai pengganggu.
Penjual Yakitori juga terbiasa menuangkan air padanya dan tak jarang anak laki-laki kecil menggertak atau memukulnya.
Seiring waktu, keberadaan Hachiko di depan gerbang tiket Stasiun Shibuya itu mencuri perhatian awak media dan dari situlah kisah Hachiko mulai terkenal.
Awal kisahnya mulai dikenal masyarakat Jepang itu dikarenakan ada pemberitaan di koran harian Jepang, Tokyo Asahi Shimbun menulis tentang kisah Hachiko pada Oktober 1932.
Stasiun kemudian memberikan sumbangan makanan untuk Hachiko setiap hari.
Hachiko mati pada 8 Maret 1935 dan langsung menjadi halaman depan banyak surat kabar di Jepang. Hachiko dikubur di Pemakaman Aoyama di dekat liang Ueno dan Yae.
Bahkan pada pemakamannya, biksu Budha berdoa untuknya dan para pejabat banyak yang memberikan pujian untuk Hachiko.
Sejak saat itu, ribuan orang mengunjungi patungnya pada hari-hari berikutnya.
Sebuah acara penggalangan dana pada tahun 1934 untuk membuat patung dirinya pun mencuri perhatian publik, sekitar 3.000 orang turut berdonasi.
Bahkan kondisi pasca Perang Dunia II yang membuat kondisi perekonomian Jepang runtuh, penggalangan dana untuk patung Hachiko berhasil mengumpulkan 800.000 yen atau Rp 83 juta.
Nominal itu terbilang sangat besar di masanya.
"Kalau dipikir-pikir, saya merasa bahwa dia tahu bahwa Dr Ueno tidak akan kembali, tetapi dia terus menunggu. Hachiko mengajari kami nilai menjaga kepercayaan pada seseorang," tulis Takeshi Okamoto dalam sebuah artikel surat kabar pada tahun 1982.
Peringatan untuk mengenang kisah Hachiko rupanya tidak hanya ada di Stasiun Shibuya.
Patung Hachiko juga ada di Odate, kampung halaman Ueno, kawasan Hisai, Universitas Tokyo dan Rhode Island, Amerika Serikat yang menjadi latar dari film Hachiko: A Dog's Story di tahun 2009.
Pada tanggal 8 April di setiap tahunnya, Stasiun Shibuya mengadakan peringatan untuk mengenang Hachiko.
Patungnya sering dihiasi dengan syal, topi Santa dan yang terbaru masker medis (karena situasi pandemi Covid-19).
Di Odate juga ada serangkaian acara untuk mengenang Hachiko, hingga yang terakhir digelar pada April lalu untuk mengenang ulang tahunnya yang ke-100.
Tali anjing yang melingkar di lehernya kini sudah dipajang di National Museum of Nature and Science di Tokyo.
Di sisi lain, Prof Yano mengatakan kesetiaan Hachiko akan terus diperingati dan dikenang banyak orang dalam jangka panjang.
Bahkan hingga usia Hachiko sudah menyentuh satu abad, kisahnya masih terngiang di masyarakat.
"Bahkan 100 tahun dari sekarang, cinta tanpa syarat dan kesetiaan ini tidak akan berubah. Kisah Hachiko akan hidup selamanya," tutup Prof. Yano.
Baca juga: Si Anjing Setia Hachiko Kini dalam Sekotak Cokelat Mewah...
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang