
Tulisan ini dibuat di atas ketinggian 35 ribu kaki atau lebih dari 10 kilometer di atas permukaan laut dalam perjalanan kembali ke tanah air, selepas mengunjungi kerabat di Hongkong menjelang tahun baru Imlek.
Lima hari lepas dari pekerjaan rutin, mengendapkan banyak pemikiran dan merefleksikan segala sesuatunya, sehingga saya harap bisa membuat tulisan ini dibaca lebih nyaman, mampu mengungkit kearifan dan kelapangan nalar serta akal budi.
Program pemerintah “Makan Bergizi Gratis” belakangan ini disorot banyak pihak setelah resmi berjalan sejak 6 Januari yang lalu.
Baca juga: Cegah Munculnya Masalah Kesehatan, Dokter Gizi Ingatkan 6 Hal untuk Makan Bergizi Gratis
Beberapa kali saya diminta memberi pendapat oleh media, mulai ketika wacana program ini diangkat sebagai janji unggulan di masa Pilpres, hingga aneka isu dan ‘kejutan’ yang muncul sampai detik ini.
Pembiayaan besar menembus 70 trilyun rupiah sebagai anggaran per tahun, awalnya disebut akan difokuskan pada pelaksanaan MBG di wilayah 3T: Terluar, Tertinggal, Terbelakang.
Yang pasti bukan Jabodetabek dan seputar pulau Jawa, di mana uji coba berulang kali diselenggarakan.
Pun uji coba tidak dikelola sebagai prototipe program sesungguhnya: dari dapur penyedia, cara transportasi, waktu pembagian, sampai dengan evaluasi penerima manfaat, dan daur ulang limbah.
Cenderung bersifat sentralistik dan dikelola tanpa sosialisasi detil soal penjajagan awal alias assessment pra program, membuat banyak pihak di satu sisi gagap tanggap, di sisi lain muncul aneka reaksi.
Padahal, seyogyanya Makan Bergizi Gratis jika dipersiapkan lebih matang, melibatkan kontribusi pakar dan akademisi maka tentu akan menuai dukungan ketimbang komentar berkepanjangan.
Tidak diragukan lagi, jiwa nasionalis presiden terpilih, menjadi greget dan dorongan terbesar pelaksanaan Makan Bergizi Gratis. Sehingga, juru bicara kepresidenan saat ditanya mengapa akhirnya bukan wilayah 3T sebagai inisasi program: jawaban beliau cukup mengejutkan, ternyata dipilih daerah “yang paling siap” secara tata Kelola, bukan daerah yang paling membutuhkan.
Baca juga: Ada Keluhan Sayur Basi di Makan Bergizi Gratis, Ini 4 Faktor Penyebabnya
Ditambahkannya pula, bahwa wilayah yang “paling siap” walaupun di perkotaan pulau Jawa, ada kantong-kantong kemiskinan, sehingga program ini bersifat “universal”.
Dalam beberapa pertemuan dengan pakar dan akademisi, saya meyakini bahwa tidak ada seorang pun yang menentang program Makan Bergizi Gratis, yang justru bisa bergulir secara jangka panjang memperbaiki pemahaman publik tentang gizi seimbang, pola makan sehat keluarga, dan dalam jangka pendek meningkatkan kualitas pangan anak sekoah, ibu hamil-menyusui, serta balita -- paling tidak sekali dalam sehari.
Namun, program nasional berskala raksasa ini semestinya direncanakan, dipersiapkan, dijalankan bertahap dengan standar terukur baik secara efisiensi dan efikasi yang benar.
Punya sistem monitoring yang jelas sejak sebelum dimulai dan tahapan evaluasi di pelbagai lini yang terstruktur, dengan sistem umpan balik yang juga punya kelengkapan monitoring dan evaluasi, bagaimana umpan balik tersebut secara berkesinambungan memberi manfaat bergulir di kemudian hari.
Bisa saja Badan Gizi Nasional ditetapkan sebagai lembaga negara yang bertanggungjawab penuh berlangsungnya program Makan Bergizi Gratis, sebagaimana telah tercantum dalam petunjuk teknis penyelenggaraan bantuan pemerintah untuk MBG tahun anggaran 2025.