JAKARTA, KOMPAS.com – Kain tenun tradisional seperti tenun batak menghadapi tantangan besar untuk tetap relevan, di tengah arus tren global dan gempuran merek fesyen internasional.
TobaTenun, salah satu brand tekstil yang fokus pada pelestarian tenun batak, mengakui bahwa mengenalkan budaya lokal ke generasi muda bukan perkara mudah.
Baca juga:
Ada sejumlah tantangan yang dihadapi TobaTenun dalam menghidupkan kembali semangat cinta tenun batak di kalangan muda. Simak penjelasannya.
CEO TobaTenun Kerri Na Basaria Panjaitan dalam UGARI: LUHUR, Perayaan 7 Tahun TobaTenun di Kuningan, Jakarta Selatan Rabu (30/7/2025). Produk tenun tradisional seperti ulos batak memang tidak murah. Proses pembuatannya yang rumit, dikerjakan manual selama berhari-hari, serta penggunaan bahan alami membuat harga kain tenun menjadi mahal.
Namun, hal ini justru menjadi hambatan ketika dibandingkan dengan produk fesyen cepat atau fast fashion.
“Faktor harga udah pasti jadi tantangan utama, apalagi kalau di Jakarta ini semakin banyak brand luar yang masuk dan dianggap lebih tren,” ujar CEO TobaTenun, Kerri Na Basaria Panjaitan dalam acara UGARI: LUHUR, perayaan 7 tahun TobaTenun yang digelar di Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (30/7/2025).
Kesan "mahal tapi jarang dipakai" menjadi persepsi umum di kalangan anak muda, membuat tenun tradisional tampak kurang fungsional dalam keseharian mereka.
“Alhasil banyak orang merasa ngapain beli hasil penenun yang harganya lebih mahal dan enggak bisa dipakai sering-sering, mending beli tas atau sepatu mahal,” jelas Kerri.
Koleksi busana kolaborasi TobaTenun dengan desainer Eridani.Tenun tradisional sering dianggap terlalu formal atau kuno dibandingkan produk fesyen modern yang lebih simpel dan fleksibel.
Apalagi banyak brand lokal dan internasional saat ini menghadirkan koleksi yang sangat terjangkau dan cepat berganti.
“Mengenalkan tenun batak ke lintas generasi memang sulit sih, di tengah berbagai macam brand mulai mengeluarkan koleksi yang lebih modern dan trendi,” kata dia.
Hal ini membuat tenun tradisional cenderung dipandang sebagai busana acara adat atau perayaan tertentu saja, bukan sebagai bagian dari gaya hidup harian.
Generasi muda kerap memiliki rasa ingin tahu tinggi, tetapi tanpa pendekatan yang tepat, warisan budaya seperti tenun bisa terasa jauh dari mereka.
Edukasi tentang sejarah, nilai simbolis, serta proses pembuatan tenun menjadi penting untuk membangun koneksi emosional.
“Tapi antusias anak muda itu pasti ada, bagaimana kami bisa meraih mereka dan membuat tenun Batak ini lebih mudah diakses muda-mudi,” ujar Kerri.
Kerri menilai, keterlibatan anak muda bisa dimulai dari penyederhanaan akses, baik secara visual, gaya, maupun harga.
Baca juga: