Bagi TobaTenun, kehadiran figur muda yang mengenakan dan mempopulerkan tenun batak sangat penting.
Sosok ini dapat menjadi panutan sekaligus jembatan budaya antara warisan masa lalu dan selera masa kini.
“Itulah mengapa kami coba kolaborasi dengan desainer, anak-anak muda, yang mereka bisa jadi role model untuk orang-orang di sekelilingnya,” ucap Kerri.
Melalui kolaborasi ini, TobaTenun ingin menunjukkan bahwa tenun tak hanya untuk generasi tua, tetapi bisa juga tampil modern di tangan anak muda kreatif.
Tak sekadar mengikuti selera pasar, TobaTenun tetap menjaga pakem warisan dengan cara menyelaraskannya ke gaya kekinian.
Warna-warna pastel dan motif kontemporer mulai digunakan untuk membuat tenun lebih fleksibel dan fashionable.
“Dari segi motif, kami juga buat dengan warna yang lebih tren tanpa meninggalkan pakem tenunnya. Motif pun juga lebih kontemporer, yang inspirasinya tetap tenun Batak tradisional,” jelas perempuan 34 tahun itu.
Kombinasi antara inovasi dan konservasi ini menjadi kunci agar tenun tetap hidup dan berkembang.
Baca juga:
Kerri menyadari, budaya hanya akan bertahan jika ia bisa menyesuaikan diri dengan zaman.
Terlalu kaku dalam mempertahankan tradisi justru bisa menjauhkan budaya itu sendiri dari masyarakat.
“Kita enggak bisa lestarikan budaya hanya stuck dan enggak mengikuti perkembangan zaman, yang ada akan semakin ditinggalkan budaya tersebut,” tegasnya.
Oleh karena itu, pelestarian tenun tak hanya tentang menjaga bentuk aslinya, tapi juga menjadikan budaya ini hidup di tengah masyarakat yang terus berubah.
Dengan pendekatan yang inklusif, kolaboratif, dan adaptif, TobaTenun berupaya menjadikan tenun Batak sebagai bagian dari identitas anak muda Indonesia, bukan sekadar peninggalan sejarah.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang