Hasilnya, meski terjebak di tengah kemacetan, kamu tetap bisa merasa tenang dan tidak mudah tersulut emosi.
Daripada mengeluh tentang bisingnya jalan, ia justru mengajak untuk mendengarkan suara kota dengan penuh kesadaran.
“Dengarkan suara-suara yang ada di lingkungan sekitar kita, misalnya suara klakson, suara detik jam, dan di keheningan itu kamu akan merasakan bahwa momennya berharga,” ujarnya.
Pendekatan ini disebut mindful listening, mendengarkan tanpa bereaksi. Dengan cara ini, kamu bisa menyadari bahwa setiap suara hanyalah bagian dari kehidupan kota yang tidak bisa dikendalikan.
Alih-alih melawan atau mengeluh, menerima kondisi ini membuat hati terasa lebih ringan.
Dalam kesibukan dan kebisingan, kamu belajar untuk hadir sepenuhnya pada momen saat ini.
Bagi yang ingin lebih dalam terhubung dengan diri sendiri, Rahne menyarankan memberikan sentuhan lembut pada tubuh, terutama di bagian dada atau perut.
“Jika ingin lebih terhubung dengan diri sendiri, pegang dada, perut, atau area yang tegang lainnya. Berikan sentuhan lembut dan tanyakan ke diri sendiri, coba ajak diri sendiri ngobrol,” ujarnya.
Langkah sederhana ini bisa menumbuhkan rasa tenang dan empati terhadap diri sendiri.
Dengan menyentuh area tubuh yang tegang, kamu memberi sinyal ke otak bahwa semuanya baik-baik saja.
Baca juga: Kisah Stephen Curry Beli Kondo Rp 117 Miliar karena Takut Macet
Momen ini juga menjadi pengingat bahwa tubuh dan pikiran perlu istirahat, bahkan di tengah perjalanan yang penuh macet sekalipun.
Rahne menekankan, kemacetan tidak selalu harus menjadi pengalaman buruk. Dengan latihan mindfulness sederhana, perjalanan pulang dari kantor bisa berubah menjadi waktu refleksi diri yang menenangkan.
Tanpa disadari, kemacetan bisa menjadi ruang kecil untuk bernapas, bersyukur, dan kembali mengenal diri.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang