Ada dinamika, perbedaan pendapat, bahkan sikap keras dari beberapa pihak. Namun, ia memilih tetap pada gaya kepemimpinannya.
“Di lapangan pasti lah ada pihak-pihak yang harus diajak komunikasi atau berbeda pendapat. Semua kita komunikasikan dengan baik-baik,” ujar Sherly.
Ketika menghadapi pihak yang bersikap keras, ia tetap menjaga kelembutan dalam komunikasinya.
“Ketika pihak yang sana keras, kita tetap lembut.”
Baginya, merespons kekerasan dengan kekerasan tidak akan membawa dampak baik, terutama dalam pemerintahan daerah yang memerlukan hubungan harmonis antarpihak.
Pendekatan lembut yang ia pilih, justru ia anggap sebagai bentuk ketegasan yang berbeda.
Baca juga: Toba Tenun Gaungkan Peran Perempuan dalam Melestarikan Tenun Batak
Sherly mengatakan bahwa pendekatan ini bukan sekadar teori. Dalam pengalamannya menjabat selama delapan hingga sembilan bulan, gaya komunikasinya terbukti menyelesaikan banyak persoalan yang ia hadapi.
“Dan perjalanan saya dalam delapan sampai sembilan bulan ini, dengan komunikasi dan kelembutan menyelesaikan banyak masalah,” ujarnya.
Dengan menekankan empati, mendengar, serta komunikasi yang baik, Sherly menunjukkan bahwa kepemimpinan perempuan memiliki kekuatan tersendiri.
Ia membuktikan bahwa ketegasan tidak selalu harus bersuara keras, dan kelembutan bukanlah kelemahan.
Gaya kepemimpinan Sherly menjadi bukti bahwa perempuan bisa hadir sebagai pemimpin yang baik tanpa harus meninggalkan karakter kewanitaannya.
Melalui empati, kasih, dan cara memandang masalah yang lebih humanis, ia membangun pendekatan yang tegas namun tetap lembut, dan justru itulah yang menjadi keunggulannya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang