JAKARTA, KOMPAS.com - Semakin banyak remaja Indonesia yang disebut mengakses layanan kesehatan jiwa belakangan ini. Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) menemukan, hal tersebut selaras dengan tingkat kecemasan, depresi, dan disregulasi emosi, yang meningkat di kalangan remaja.
“Kami melihat adanya hendaya (gangguan) pada fungsi kognitif pada remaja. Remaja kami teliti fungsi kognitifnya. Daya pikirnya, memori, konsentrasi, kemampuan pengambilan keputusan, dan pengendalian impuls, ternyata rendah,” jelas Bidang Humas Pengurus Pusat PDSKJI dr. Zulvia Oktanida Syairf, Sp.KJ dalam acara "Beranda Jiwa" di kantor Google Indonesia di Jakarta Selatan, Kamis (20/11/2025).
Baca juga:
Pada fase remaja, otak masih belum berkembang dengan sempurna. Terjadinya penurunan kognitif merupakan jawaban atas angka agresivitas yang meningkat, aksi perundungan, tingkat impulsivitas, dan ketidakmampuan untuk meregulasi emosi.
“Sehingga akhirnya muncul berbagai masalah kesehatan mental seperti tadi yaitu kecemasan, depresi, yang akhirnya membuat remaja itu memang saat ini sangat rentan untuk mengalami berbagai isu kesehatan mental,” kata dr. Vivi.
Deretan isu tersebut membuat para remaja di Indonesia lebih terbuka untuk mengakses layanan kesehatan mental yang tersedia.
Sebelumnya, mantan Wakil Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Wamenkes RI) dr. Dante Saksono Harbuwono, Sp.PD-KEMD, Ph.D menuturkan, berdasarkan data pemeriksaan kesehatan jiwa gratis, ada sekitar dua juta anak mengalami gangguan kesehatan mental.
"Dari laporan yang kami terima dalam pemeriksaan kesehatan jiwa gratis dan telah menjangkau sekitar 20 juta jiwa, terdapat lebih dari dua juta anak yang mengalami gangguan kesehatan mental," kata dr. Dante dalam acara Hari Kesehatan Jiwa Sedunia di Puspemkot Tangerang, dalam pemberitaan Kompas.com pada Kamis (30/10/2025).
Menanggapi hal tersebut, serta visi pemerintah Indonesia dalam menciptakan generasi Indonesia Emas pada tahun 20245 mendatang, PDSKJI menegaskan bahwa solusi jangka panjang harus berakar pada penguatan fungsi eksekutif anak dan remaja.
Gangguan fungsi kognitif pada remaha terjadi karena penggunaan gadget tidak terkendali, yang membuat remaja sampai lupa waktu.“Fungsi eksekutif adalah pusat kendali otak yang menentukan kemampuan seseorang mengatur diri, berpikir fleksibel, dan mengambil keputusan bijak,” kata Ketua Bidang Pendidikan, Pelatihan, dan Penelitian PP PDSKJI, Dr. dr. Suzy Yusna Dewi, Sp.KJ(K), MARS, dalam keterangan pers perihal riset PDSKJI yang diberikan oleh dr. Vivi kepada Kompas.com.
“Gangguan fungsi ini bukan masalah perilaku, melainkan persoalan biologis otak yang
harus ditangani secara ilmiah,” sambung dr. Suzy.
Lebih lanjut, gangguan kesehatan mental berkaitan dengan kondisi, seperti kecemasan, depresi, dan kesulitan untuk meregulasi emosi, yang berdampak langsung pada kemampuan belajar, kontrol diri, pengambilan keputusan, dan relasi sosial.
Baca juga: Studi: Kontrol Orangtua Terlalu Ketat Picu Kecemasan Sosial Pada Remaja
Era digital mempercepat proses belajar, tetapi juga mempercepat disfungsi otak apabila digunakan secara bebas tanpa kendali, alias anak sampai lupa waktu dalam memanfaatkan teknologi.
Gangguan fungsi kognitif pada remaha terjadi karena penggunaan gadget tidak terkendali, yang membuat remaja sampai lupa waktu.Menurut dr. Suzy, paparan gadget (gawai) yang berlebihan, ditambah dengan perundungan daring dan tekanan sosial yang tinggi, menghambat perkembangan area otak depan (prefrontal cortex) sebagai pusat fungsi eksekutif
“Anak dan remaja yang belum matang fungsi eksekutifnya lebih mudah stres, marah, sulit
fokus, dan kehilangan arah tujuan hidup. Ini bukan sekadar karakter, tapi kondisi biologis
yang harus diintervensi lebih awal,” ujar dia.
Baca juga: Cara Membantu Remaja Meregulasi Emosi, Dengarkan Tanpa Menghakimi