Penulis
Alih-alih terus berada di lingkungan yang membuat mentalnya terkikis, Rosita memilih untuk menjaga jarak demi kesehatan dirinya.
“Keluar dari lingkungan yang penuh emosi negatif itu perlu,” ujarnya.
Ia menyadari bahwa waktu, energi, dan kebahagiaan diri adalah bagian penting dari proses menjadi ibu.
Dengan menjaga ruang aman, ia bisa lebih fokus merawat dirinya dan anaknya.
Baca juga: Perjuangan Ira Membesarkan Anak dengan ADHD, Tentang Menerima dan Mencintai
Rasa bersalah adalah hal yang familiar bagi banyak ibu, begitu juga bagi Rosita.
Salah satu momen paling membekas adalah saat ia dan anaknya harus berpindah-pindah tempat tinggal.
Dalam situasi hujan, mereka sempat mencari tempat berteduh sambil membawa barang seadanya.
Di tengah dingin dan kelelahan itu, anaknya berkata pelan, "Ma, sabar ya. Nanti kalau aku besar, aku bikinin rumah".
Kalimat sederhana itu membuat Rosita menangis.
"Aku merasa bersalah karena anakku ikut merasakan sesuatu yang harusnya tidak menjadi bebannya," ungkap Rosita.
Namun momen itu pula yang memperkuat tekadnya.
Rosita ingin memastikan luka masa kecilnya tidak berpindah kepada anaknya.
Meski rumah kecil mereka belum ideal, ia ingin tempat itu tetap menjadi ruang yang hangat dan aman.
Ada masa ketika pikiran seperti "aku gagal sebagai ibu" muncul.
Alih-alih membiarkan diri tenggelam dalam rasa bersalah, Rosita mencoba memaknainya sebagai pengingat tanggung jawab, bukan hukuman.