Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com, 29 Maret 2018, 09:00 WIB
Nabilla Tashandra,
Lusia Kus Anna

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Selama beberapa tahun terakhir, industri mode mengikuti kemauan pasar yang menghendaki "fast fashion" yang trennya berubah sangat cepat. Tidak lagi mengikuti pergantian musim seperti sebelumnya.

Namun, kini tren mode yang lambat (slow fashion) justru menjadi primadona.

"Slow fashion, itu jadi primadona di fesyen global, " kata desainer Merdi Sihombing dalam sebuah konferensi pers di acara Indonesia Fashion Week 2018.

"Tren fashion yang dikerjakan oleh garmen punya tuntutan cepat, cepat, akhirnya tidak memikirkan sisi kemanusiaan," ujar Merdi di Jakarta Convention Center, Rabu (28/3/2018).

Ia menjelaskan, banyaknya pekerja garmen yang dipekerjakan tidak manusiawi termasuk pekerja di bawah umur membuat sejumlah pihak mulai memikirkan slow fashion.

Fesyen yang proses pembuatannya cenderung lebih lama dan pembuatnya memiliki kemahiran tertentu. Misalnya, kain tenun.

Slow fashion juga lebih memerhatikan lingkungan sekitar yang terdampak.

"Slow fashion yang pekerjaannya lama, craftmanship. Tenun, sulam. Bukan hanya pakai warna alam, kimia juga tapi lebih dipikirkan. Jadi satu produk pengerjaannya lama," tuturnya.

Desainer Merdi Sihombing di sela penyelenggaraan Indonesia Fashion Week 2018 di Jakarta Convention Center, Rabu (28/3/2018).KOMPAS.com/Nabilla Tashandra Desainer Merdi Sihombing di sela penyelenggaraan Indonesia Fashion Week 2018 di Jakarta Convention Center, Rabu (28/3/2018).
Mode yang bergerak lambat itu menurutnya adalah kerja tim yang harus kuat mulai dari fondasi hingga sumber daya manusianya.

Namun, ia melihat masih banyak yang memiliki pemahaman cukup soal slow fashion serta menggarap kain-kain daerah menjadi produk yang sesuai perkembangan zaman.

Dalam hal ini ia berharap ada langkah khusus yang diberikan pemerintah.

"Pemahaman soal bagaimana sih harus mengangkat fesyen berbasis budaya, itu yang perlu dilakukan," katanya.

Merdi menegaskan, hal itu harus segera diwujudkan oleh Indonesia karena saat ini sudah tertinggal dari negara-negara lain.

"Cepat atau lambat harus melakukan itu. Kita tertinggal sudah sangat jauh sekali," ucap dia.

Professor Dilys Williams dari Center for Sustainable Fashion di London College of Fashion mengatakan bahwa slow fashion atau sustainable fashion menjawab problematika dunia dalam konteks ekonomi, budaya, sosial, dan lingkungan.

Halaman:


Terkini Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau