KOMPAS.com – Di masa lalu, tato di Jepang biasanya identik dengan hal-hal berbau kriminal-yakuza (semacam mafia Jepang), misalnya.
Selain itu, tato juga digunakan oleh PSK di zaman Edo, di mana para PSK menato diri mereka dengan nama pelanggan setia mereka sebagai tanda kesetiaan.
Sisa-sisa budaya ini juga masih tersebar di beberapa area di Jepang, menyebabkan tato masih dianggap tabu di Negeri Sakura.
Memang, saat ini Jepang mulai membuka diri dan menoleransi para pengguna tato. Bahkan, banyak anak muda Jepang yang mulai memandang tato sebagai mode atau pilihan gaya hidup.
Kendati demikian, persepsi lama tentang "tato itu buruk" belum sepenuhnya hilang. Faktanya, cukup banyak fasilitas yang melarang orang bertato masuk, seperti pantai, pemandian air panas, pemandian umum, dan kolam renang.
Baca juga: Digunakan Para Atlet Olimpiade, Apa Itu Kinesio Tape?
Para atlet nampak tidak menghiraukan anggapan tabu tersebut. Misalnya, ada tato singa di bahu perenang Inggris Adam Peaty.
Lalu, sebuah tato pesan inspirasi di lengan atlet bola basket 3-on-3 asal China Yan Peng. Atau tato Kristus sang Penebus di betis petinju Spanyol Gabriel Escobar Mascunano.
Tato juga ditemukan terukir di tubuh atlet olimpiade lainnya.
Atlet memang tidak akan banyak berinteraksi dengan penduduk setempat saat olimpiade akibat pandemi.
Kemungkinan besar penduduk Jepang tidak akan menyukai karya seni di tubuh para atlet. Sebab, meski Jepang semakin maju, tato terlanjur memiliki stigma negatif dan mereka yang memilikinya banyak dilarang memasuki tempat umum.
Namun, tidak ada batasan itu dalam ring olimpiade. Di kolam renang, di pantai, di lapangan — para atlet tetap mendefinisikan ulang apa artinya memiliki tanda juara.
Baca juga: Medali-medali Indonesia di Olimpiade dari Masa ke Masa
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.