Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Bingung Saat Lulus Kuliah, Hendry Kini Bawa Clothing-nya Mendunia

Dari luar, pagar tertutup rapat. Hanya terlihat satu orang pegawai yang kemudian membukakan pagar.

Memasuki lantai I, ruangan pun tetap terasa sepi. Hanya ada suara 1-2 orang dari bagian belakang bangunan. 

Namun, begitu menginjakkan kaki di lantai II, suasana pun berubah. Terlihat, sejumlah orang sibuk dengan laptop-nya masing-masing.

Sementara, di tengah ruangan itu terlihat sebuah meja besar yang berisi berbagai jenis pola, bahan, maupun pakaian.

Tak jauh dari meja itu, terlihat puluhan koleksi pakaian yang berjejer dan tergantung rapi.

“Itu koleksi yang kemarin dibeli Urban Outfitters,” ujar Owner Pot Meets Pop (PMP), Hendry Sasmitapura kepada Kompas.com, belum lama ini.

Ya, pada pertengahan tahun 2018 lalu, PMP bersama empat merek streetwear lokal lainnya mewakili Indonesia di ajang Agenda Show di Long Beach, Amerika Serikat.

Tiga dari lima brand tersebut -salah satunya PMP, menarik minat Urban Outfitters untuk bekerja sama mengisi koleksi dari jaringan ritel raksasa AS tersebut.

Gerai Urban Outfitters tak hanya tersebar di AS, tapi juga kota-kota besar dunia.

Hendry lalu menceritakan awal mula berdirinya PMP.

Saat itu, Hendry yang sudah tingkat akhir di Kuala Lumpur Metropolitan Univerity College tengah dilanda kebingungan. 

“Saat mau lulus kuliah, saya bingung, setelah lulus mau ngapain,” ucap dia.

Jika melihat para seniornya, ada dua jalur yang dilakukan setelah lulus. Kalau orangtuanya bekerja, maka mereka akan menjadi pekerja. 

Jika orangtuanya pengusaha, para senior tersebut akan menjadi pengusaha pula. Baik membuka usaha sendiri, atau ikut membantu usaha orangtuanya. 

Satu tahun berlalu, tepatnya Maret 2009, ia memutuskan menjadi pengusaha.

Kebetulan sang ayah memiliki usaha konveksi yang mengerjakan orderan jeans dari distro-distro di Bandung. 

Selain itu, Hendry sangat menyukai fesyen, bahkan mengoleksi celana jins. Ia pun sempat bingung antara bisnis jins atau produk lainnya.

Dengan berbagai pertimbangan, ia memutuskan untuk berbisnis jins.

“Saya coba bikin merek sendiri, produksi di bokap.  Awalnya se-simpel itu,” tutur dia.

Dengan modal Rp 50 juta, ia kemudian membangun merek PMP. Di awal debutnya, PMP meluncurkan empat jins pria dan empat jins perempuan.

PMP terbilang berani, karena saat itu tak ada brand lokal lain yang bermain di jins perempuan.

Sebagai pembeda, pocket jeans bagian belakang dibuat polos. Ini dilakukan agar jins PMP terlihat lebih general.

Selain itu, PMP menggunakan bahan laken yang bisa dibuat berbagai macam warna untuk bagian patch.

“Selama dua tahun awal, patch kita tiap season selalu berganti, colorful banget, bisa merah, orange, dan warna lainnya."

"Identity kita mungkin di situ, selain cutting dan bahannya itu sendiri,” ucap dia.

Dia lalu membawa produknya ke Kuala Lumpur, dan diluncurkan di sana dengan harga berkisar Rp 400.000-500.000. 

Penjualan dilakukan secara online melalui blogspot. Ia pun memasukkan produknya ke toko-toko di Malaysia, sekaligus mengembangkan bisnisnya di Tanah Air.

“Setiap bikin produk selalu laku terjual,” ucap dia.

Berbagai inovasi ia lakukan. Seperti di tahun 2011 saat ia mulai menggunakan bahan selvedge denim dari Jepang. 

“Salah satu hal spesial dari bahan denim adalah selvedge. Di Asia yang paling bagus (selvedge) dari Jepang,” tuturnya.

Perlahan namun pasti, PMP terus berkembang. Setiap enam bulan, PMP mengeluarkan koleksi baru. 

Jika dulu PMP hanya meluncurkan delapan artikel dalam satu koleksi, kini lebih dari 30 artikel dengan harga Rp 200.000-1,3 juta. 

“Tim desain ada empat orang, termasuk saya. Mereka semua (tim desain) adalah teman baik saya,” ucap dia.

Pemasaran sendiri tetap dilakukan secara online maupun penjualan di toko.

Dua Merek

Seiring berjalannya waktu, produk PMP berkembang ke produk-produk berbahan non-denim. PMP kini memiliki produk kaus, jaket, celana bahan, dan lainnya.

“Tahun ini, brand akan di-split jadi dua sub-brand, PMP Denim khusus untuk produk apapun yang berbahan denim. Kemudian Pot Meets Pop untuk produk-produk di luar denim,” katanya.

Hendry memisahkan merek untuk menyasar segmen yang sedikit berbeda. Sebab ada orang yang denim banget ada juga yang tidak.

Misal, orang yang suka warna-warni, kemungkinan tidak terlalu suka denim yang berat. Namun orang yang denim banget, bisa saja tidak berani pakai produk yang terlalu colorful.

“Tapi secara look, pakain ini tetap menyasar ke laki-laki dewasa,” tuturnya.

Ia pun memiliki impian yang ingin direalisasikan tahun ini. Hendry ingin membuka lagi toko di Jakarta. Namun ia tak ingin terburu-buru.

“Dulu saya pernah punya toko di daerah Kemang, tapi kurang berjalan dengan baik,” ucap dia.

Untuk itu, ia akan lebih teliti dalam memilih lokasi toko yang akan datang.

https://lifestyle.kompas.com/read/2019/03/19/091823120/bingung-saat-lulus-kuliah-hendry-kini-bawa-clothing-nya-mendunia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke