Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pria Tangguh Lebih Berisiko Lakukan Bunuh Diri?

KOMPAS.com - Pria yang percaya "pria sejati tidak menangis"mungkin akan berpikir ulang tentang hal itu. Pasalnya, menurut studi terbaru para pria tangguh tersebut justru lebih rentan dan beresiko bunuh diri.

Sudah lama diketahui, para pria lebih mungkin mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri daripada wanita.

Di Amerika Serikat, angka kematian karena bunuh diri di antara pria adalah sekitar 3,5 kali lipat lebih tinggi dari wanita, menurut Centers of Disease Control and Prevention.

Statistik itu mengangkat pertanyaan apakah norma-norma tradisional tentang maskulinitas dapat memainkan peran.

Ketua peneliti Daniel Coleman menjelaskan, masuk akal jika ekspektasi terhadap "pria tangguh" --yang meliputi penyangkalan emosi, tidak meminta tolong, dan agresivitas-- dapat berkontribusi pada bunuh diri.

Namun, hal itu juga merupakan subjek yang menantang untuk dipelajari.

Coleman dan timnya menggunakan data dari studi kesehatan yang melacak lebih dari 20.700 remaja AS pada tahun 1995.

Di tahun 2004, 22 orang di antaranya telah meninggal dunia karena bunuh diri, dan semuanya adalah pria.

Para peneliti menemukan, pria muda yang mencetak skor tertinggi dalam kisaran "maskulinitas tradisional tinggi" 2,4 kali lebih berpotensi bunuh diri daripada pria lain.

Ukuran maskunilitas itu dinilai berdasarkan sifat seperti tidak menangis, resistensi untuk menjadi emosional atau moody, tetap sehat secara fisik, serta mengambil risiko.

Mengapa pria yang berjuang dengan norma-norma tersebut berisiko lebih besar bunuh diri?

Coleman menyebut, temuan itu menunjukkan ada "jaringan" pengaruh secara tidak langsung.

Pria yang menjunjung tinggi maskulinitas tradisional lebih mungkin mencoba menggunakan senjata, dikeluarkan dari sekolah, terlibat perkelahian serius, atau kabur dari rumah.

Mereka juga lebih mungkin memiliki anggota keluarga yang meninggal karena bunuh diri daripada pria lain.

Dan seluruh faktor tersebut, pada akhirnya, terkait risiko bunuh diri yang lebih tinggi.

Hal itu menunjukkan, keyakinan terkait norma-norma maskulin bisa menjadi bagian dari apa yang mendasari faktor risiko lain untuk bunuh diri.

Jika kepercayaan itu dapat diatasi, kata Coleman, ada kemungkinan memengaruhi sejumlah hal yang mendorong risiko bunuh diri pada pria.

Sebagai contoh, ia mengatakan, umum bagi pria untuk memiliki gaya "coping" yang kaku. Coping adalah kondisi di mana seseorang bereaksi terhadap situasi (seperti kehilangan pekerjaan atau pasangan) dengan cara tidak sehat, alih-alih mencari bantuan.

"Mereka perlu tahu, tidak apa-apa untuk meminta dan menerima bantuan," ujar Coleman.

Tapi, perlu dicatat penelitian itu hanya menyoroti hubungan yang terlihat dibandingkan hubungan sebab dan akibat.

Coleman menekankan, temuannya didasarkan pada sejumlah kematian karena bunuh diri, dan perlu lebih banyak penelitian untuk mendukung risetnya.

Temuan yang diterbitkan dalam jurnal JAMA Psychiatry tersebut hadir di tengah tingkat bunuh diri yang melonjak di antara orang AS secara keseluruhan.

Sebuah studi tahun 2019, misalnya, menemukan peningkatan 41 persen pada tingkat bunuh diri di AS antara tahun 1999 - 2006. Namun, kematian akibat bunuh diri hanya mengungkap sebagian dari masalah.

Dr. Ken Duckworth, direktur medis National Alliance on Mental Illness di Arlington menyebut, pria memiliki angka kematian jauh lebih tinggi ketimbang wanita karena mereka cenderung menggunakan cara lebih mematikan ketika mencoba bunuh diri.

https://lifestyle.kompas.com/read/2020/02/17/161944920/pria-tangguh-lebih-berisiko-lakukan-bunuh-diri

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke