Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kisah Dokter Tirta, Pengamat Sneaker yang Jadi Aktivis Pencegahan Corona

KOMPAS.com - Nama Tirta Mandira Hudi atau yang akrab disapa dr. Tirta selama ini lebih lekat dengan dunia sneaker, sebagai pengamat dan pemilik bisnis. Namun, sejak merebaknya wabah Covid-19, ia menjadi salah satu aktivis yang bekerja keras melakukan pengumpulan dana dan menyebarkan informasi seputar penyakit ini. 

Bersama rekannya dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Tirta menginisiasi donasi #NutrisiGardaTerdepan lewat platform Kita Bisa untuk menyediakan makanan bergizi, susu dan vitamin bagi para tenaga kesehatan di RS rujukan Covid-19.

Belakangan ia juga berkolaborasi bersama Kita Bisa untuk membuka donasi bertajuk Bersatu Saling Bantu hingga membantu mempersiapkan kebutuhan untuk RS Darurat Covid-19.

Dibantu oleh Polda Metro Jaya, Tirta juga membagikan masker dan hand sanitizer secara acak kepada masyarakat.

Tak ketinggalan, pria lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada ini juga memberikan edukasi kepada masyarakat luas untuk sama-sama mencegah penyebaran virus corona.

Melalui akun media sosialnya, pria yang senang mewarnai rambutnya ini mengungkap alasan mengapa dirinya bekerja keras untuk membantu pencegahan infeksi wabah virus corona di tanah air.

Wafatnya Guru Besar UGM, Iwan Dwiprahasto yang pernah menjadi pengajarnya ketika menjalani pendidikan di FK UGM, menjadi salah satu alasannya.

Ia sangat berduka dengan kepergian Prof.Iwan dan semakin terpacu untuk melakukan upaya pencegahan corona.

Namun, saat itu ia diprediksi masih akan mengalami sejumlah penyakit pernafasan.

"Setelah penyembuhan TB, gue kena berbagai macam penyakit pernafasan. Faringitis, Laringitis, Tonsilitis, Bronkitis, dan Sinusitis. Ini sampai SMA," ungkapnya lewat akun twitternya @tirta_hudhi.

Namun kondisi itu tak menghalanginya untuk mencetak prestasi. Puncaknya, ia bahkan berhasil menembus FK UGM. Di sanalah Tirta bertemu dengan Iwan Dwiprahasto.

Karena skripsinya selesai pada semester 6 dan dianggap baik, ia ditawari beasiswa peneliti ke Belanda oleh Iwan dan dosennya yang lain. Namun, saat itu Tirta lebih memilih menekuni bisnisnya ShoesAndCare dan berkarir di Instalasi Gawat Darurat (IGD).

Namun, sering mengalami sakit membuatnya berhenti berkarir sebagai dokter dan memilih fokus dengan bisnis cuci sepatu miliknya, ShoesAndCare.

"So, mulailah gue berjuang as dokter edukasi dan pengusaha," tulisnya.

"Sedih memang. Tapi kalo gue memaksa praktek dan (jadi) pengusaha, gue akan mati muda haha."

Pada suatu hari Tirta sempat diundang menjadi dosen tamu di kampusnya FK UGM. Di sana ia kembali bertemu dengan Prof. Iwan.

Saat itu, sang dosen menyampaikan padanya bahwa seorang dokter tak mesti selalu berjuang di balik jas praktik, namun juga bisa bermanfaat di bidang-bidang lainnya.

"Tabunglah uang dari usahamu, berjuang, naikkan derajat tenaga medis, amankan pasien, buat rumah sakit! Siapa tahu kamu bisa!" tulis Tirta menirukan perkataan dosennya.

Ia pun berjanji akan "pamer" pada sang dosen jika berhasil membangun RS kelak.

Namun, kabar Iwan terinfeksi corona membuatnya bertekad mencegah penyakit tersebut semakin meluas.

Ia pun bergerak lewat berbagai cara. Mulai dari membeli banyak masker untuk dibagikan, mencarikan alat pelindung diri (APD) bagi rumah sakit yang masih kekurangan, menggalang donasi untuk para tenaga medis, hingga mengedukasi masyarakat tentang virus corona lewat berbagai platform.

Pada awalnya Tirta menggunakan uang tabungan sendiri, sebelum akhirnya diajak bekerja sama oleh Kita Bisa.

Kabar meninggalnya sang dosen membuatnya sangat berduka saat itu. Tirta pun semakin berusaha keras untuk meneruskan perjuangan almarhum Iwan. Baginya, Indonesia benar-benar sedang membutuhkan bantuan banyak pihak untuk mengatasi wabah corona.

"Jika angka infeksi enggak bisa ditekan, Indonesia bisa krisis corona sampai Juni dan ini bahaya. Satu-satunya cara, ya menekan angka infeksi. Di sinilah peran para relawan," ungkap Tirta.

Meskipun 80 persen pasien mengalami gejala ringan, kata dia, namun virus ini menyebar dengan sangat mudah dan cepat. Sehingga jika tidak dibendung, jumlah pasien dan tenaga medis nantinya tidak akan seimbang.

"Selama angka infeksi tinggi, gue enggak akan berhenti berjuang," katanya.

https://lifestyle.kompas.com/read/2020/03/26/094844920/kisah-dokter-tirta-pengamat-sneaker-yang-jadi-aktivis-pencegahan-corona

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com