Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Resolusi Hidup Sehat, Idealis Atau Realistis?

Janji yang sama berakhir tragis dengan drama ‘non happy ending’. Bahkan, kerap semakin banyak imbuhan aneka jegalan sana-sini.

Yang tiga tahun lalu resolusi cuma soal berat badan, dua tahun lalu ditambah ultimatum dokter dengan gangguan hormonal sehingga haid berantakan.

Dan di tahun ini, sang dokter makin kencang suaranya dengan hasil laboratorium yang menunjukkan sindroma metabolik alias angka merah di panel pemeriksaan lemak darah, ditambah katanya sudah ada tanda-tanda insulin resisten.

Jika saja ada pil ajaib atau metode ampuh yang bisa membungkam semua sensor bahaya itu, rasanya apa pun akan dipertaruhkan termasuk jika harus bayar mahal. Sayangnya, tidak ada.

Pun diet sebulan mati-matian menahan liur di depan kedai bakmi ayam kesayangan, hanya berbuah turun setengah kilo dari bobot asal.

Begitu pula dua bulan ikut keanggotaan gym yang tak jauh dari kantor, berujung pengkhianatan berulang, karena jadwal rapat dan keluar kota – alhasil perut masih goyor dan tengkuk makin cenat cenut tiap habis menatap layar monitor beberapa jam sehari.

Tulisan di atas barangkali diamini banyak orang dengan keluhan serupa. Yang disalahkan, dijadikan kambing hitam, biasanya soal waktu.

Tidak punya waktu sarapan, sehingga nyamber secangkir kopi dan roti seketemunya, tidak punya waktu masak sehingga lebih praktis beli lewat layanan antar, tidak punya waktu olah raga sebab pulang rumah sudah luluh lantak, tidak sempat belanja kebutuhan dapur sebab masaknya saja tak tahu kapan.

Kisah yang sama bagi yang masih bujangan, apalagi yang telah beranak tiga.

Dari pengamatan yang selama ini saya temukan pada pasien dan kebanyakan orang di luar sana, resolusi hidup sehat diawali dengan cara-cara salah.

Pertama. target idealis ketimbang rencana realistis. Misal, seperti kebanyakan anjuran ‘clean eating’: sarapan saja dimulai dengan aneka bahan pangan impor dan menu asing.
Mulai dari roti gandum, havermut, hingga quinoa.

Lebih konyol jika roti gandumnya ‘main-main’ : tepung putih diberi sedikit ampas kulit gandum. Dan lidah orang Indonesia pastinya tersiksa tiap pagi hanya diberi telur rebus.

Padahal makan nasi tutug oncom dengan pepes ikan mas dan sayur daun singkong, serta pepaya satu juring, buat etnik Sunda jauh lebih nikmat sekaligus memenuhi konsep gizi seimbang: ada makanan pokok, protein, sayur dan buah.

Pemahaman soal konsep gizi seimbang sayangnya terdistorsi oleh banyak kepentingan, termasuk yang katanya pakar dan panutan tapi beriklan.

Kedua. Hasil resolusi hanya bisa diraih dengan konsistensi. Artinya, ke-ajeg-an pola yang sudah jadi pakem untuk dijalankan setiap hari.

Konsistensi tidak sama dengan mengulangi menu sama persis. Namun, konsisten dengan pemahaman gizi seimbang.

Memahami konsep dengan baik menghasilkan hasil, ketimbang mematuhi aturan yang berujung rasa frustrasi. Konsisten memilih lauk dengan cara masak yang sehat, tapi juga nikmat.

Ketimbang ayam goreng kremes misalnya, ayam panggang Kalasan atau soto ayam Boyolali bisa jadi pilihan.

Begitu pula ketimbang tumis kangkung, plecing kangkung atau urap sayur jauh lebih berharga.

Ketiga. Resolusi akan gugur tanpa persistensi. Artinya, kegigihan niat yang didasari kemampuan melihat betapa berharga dan pentingnya masa depan, ketimbang meratapi ‘pengorbanan’ meninggalkan kebiasaan masa lalu.

Jika nongkrong di kafe mengunyah brownies atau cheese cake sambil meneguk hazelnut latte dianggap ‘reward’ alias upah selepas rapat yang memusingkan dan hari yang penat, maka menggusur kebiasaan ini bisa menjadi penderitaan tak terperikan, seandainya tidak ada silih ‘kecanduan baru’ yang lebih menggigit.

Taruhlah berpeluh-peluh sedikit melekukkan tubuh di atas alat reformer pilates atau berjalan cepat di atas treadmill sambil menonton drama Korea yang kemulusan kulit dan tirusnya wajah sang aktris menjadi salah satu target masa depan.

Menggeser kecanduan leyeh-leyeh ‘bunuh diri’ dengan makanan dan minuman manis menjadi hidup aktif dengan satu botol air dingin, bukan hal instan yang bisa terjadi dalam sekejap. Di situ letak persistensi.

Keempat. Menjadi realitis, punya konsistensi dan persistensi memulai gaya hidup sehat harus didukung lingkungan yang kondusif.

Bisa jadi lingkaran pertemanan yang ‘toksik’ sudah saatnya disisihkan, tanpa perlu merasa tersisih. Hanya sedikit orang yang menjalankan niat tanpa butuh dukungan sekitar.

Justru sebagian besar masyarakat menentukan pilihannya akibat para influencers. Mereka yang ahli membelokkan jalur perjalanan seseorang.

Masalahnya, tidak semua influencers bertujuan baik atau buruk, yang pasti mereka punya motif. Kemampuan membedakan antara keduanya menjadi hal mutlak, jika ingin mendapat dukungan yang sesuai.

Influencers ini tidak selalu para pengunggah konten di media sosial, bisa jadi mereka adalah teman sekantor atau bahkan dari lingkaran keluarga sendiri.

Kelima. Berhentilah dengan istilah ‘cheating’. Tidak ada berkhianat yang baik. Apalagi terhadap diri sendiri.

Sudah terlalu kuno kata ‘cheating day’ dipergunakan buat yang mau hidup lebih baik dan makan lebih sehat.

Kenapa harus berkhianat, jika sekian hari dalam seminggu pola hidup yang dijalani sudah baik dan benar?

Cheating day ternyata berlaku bagi mereka yang sehari-harinya menjalani siksaan dan kungkungan.

Terpaksa makan ‘salad’ dan roti kering tanpa rasa. Ayam rebus. Ikan kukus. Ibarat orang masuk jebakan kawin paksa.

Padahal apabila konsep hidup sehat dipahami, secara konsisten dijalani, dengan persisten ditekuni, dan sedikit demi sedikit hasil bisa dinikmati, siapa juga yang mau balik ke lingkaran sesat?

Nafsu bisa diatur dan diarahkan. Bukan diumbar. Nah, mereka yang masih sering menggunakan istilah ‘godaan’, berarti nafsunya belum terdidik oleh nalar dan belum diarahkan buat masa depan.

Selamat memberi penghargaan untuk resolusi tahun depan, dengan konsisten dan persisten. Mengubah yang idealis menjadi realistis.

https://lifestyle.kompas.com/read/2024/12/31/123000820/resolusi-hidup-sehat-idealis-atau-realistis-

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com