Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

7 Tujuan Orang Flexing di Media Sosial Menurut Psikolog, Tak Selalu Pamer Harta

KOMPAS.com - Fenomena flexing atau memamerkan harta dan gaya hidup mewah di media sosial bukanlah hal baru. Dari unggahan liburan ke luar negeri hingga barang-barang branded, banyak orang yang menjadikan aktivitas ini sebagai bagian dari keseharian digital mereka.

Namun, apakah flexing hanya sekadar untuk pamer? Menurut psikolog, alasan seseorang melakukannya ternyata jauh lebih kompleks.

  • Mengapa Orang Suka Flexing di Media Sosial? Sosiolog Jelaskan Alasannya
  • Bukan Flexing, Riset Ungkap 4 Alasan Gen Z Bikin Konten Olahraga

“Tujuan flexing itu beragam sekali, tergantung pada motivasi intrinsik dan eksternalnya juga seperti apa, jadi tidak selalu sekadar pamer,” jelas Psikolog Klinis Maria Fionna Callista saat diwawancarai Kompas.com, Rabu (3/9/2025).

Fionna menambahkan, tujuan flexing bisa berbeda-beda, tergantung motivasi masing-masing individu.

Berikut penjelasan lebih lengkap mengenai berbagai alasan seseorang gemar melakukan flexing di media sosial.

Menurut Fionna, banyak orang memanfaatkan flexing sebagai sarana untuk mengekspresikan identitas dirinya.

“Makin ke sini, bisa dilihat bahwa orang-orang itu cenderung mengekspresikan dirinya, menjadikan identitas diri itu lewat sesuatu apa yang dia punya atau yang dia miliki atau dia capai,” jelasnya. 

Dengan kata lain, media sosial menjadi ruang untuk memperlihatkan siapa diri seseorang melalui pencapaian, barang yang dimiliki, atau gaya hidup tertentu.

Flexing juga bisa berfungsi sebagai cara untuk menunjukkan rasa bangga terhadap hasil kerja keras diri sendiri

“Bisa jadi seseorang menganggap flexing jadi salah satu cara menunjukkan rasa bangganya terhadap usaha atau pencapaian yang dia punya selama ini lewat kerja kerasnya,” jelas Fionna.

Alih-alih hanya dianggap sebagai pamer, sebagian orang justru menggunakan flexing untuk merayakan keberhasilan yang telah dicapai.

Tak hanya itu, Fionna menilai flexing juga dapat berfungsi sebagai bentuk self-branding atau membangun citra diri di media sosial.

“Flexing juga bisa jadi bentuk self-branding. Misalnya, ingin dilihat sebagai individu dengan identitas tertentu. Contohnya, seseorang ingin menunjukkan bahwa suatu pekerjaan tertentu bisa membuat sukses juga,” ujarnya.

Dengan cara ini, flexing bisa dianggap sebagai strategi untuk membangun citra diri agar lebih dikenal publik, baik secara personal maupun profesional. 

Lebih lanjut, Fionna menambahkan, flexing kadang dipakai sebagai cara untuk menginspirasi orang lain.

“Alhasil beberapa orang memamerkan hartanya, gaya hidupnya, sebagai bukti dan memberanikan orang lain bahwa profesi dia bisa membawanya ke titik yang sekarang,” katanya.

Contohnya, seorang pengusaha atau pekerja kreatif bisa saja sengaja memperlihatkan hasil pencapaiannya untuk menunjukkan bahwa profesi mereka juga bisa membawa kesuksesan.

Menurut Fionna, flexing tidak melulu soal materialistik. Terkadang, perilaku ini juga bisa menunjukkan sisi kemandirian dan pemikiran seseorang melalui unggahan di media sosial.

“Flexing sebagai bentuk branding ini juga bisa menunjukkan sisi kemandirian dan pemikiran seseorang,” jelasnya.

Hal ini menandakan bahwa flexing dapat menjadi sarana bagi individu untuk menegaskan citra dirinya sebagai sosok yang berhasil dan mandiri.

Dari sisi psikologis, ada juga orang yang melakukan flexing karena merasa kurang mendapatkan pengakuan dari lingkungannya.

“Dari sisi psikologis juga bisa dijelaskan, salah satu alasannya karena seseorang sedang mencari validasi lebih yang tidak bisa dia dapatkan di lingkungan sekitar,” ujar Fionna.

Artinya, ketika seseorang tidak menemukan apresiasi dari orang-orang terdekat, mereka bisa beralih ke media sosial untuk memperoleh pengakuan dari audiens yang lebih luas.

Fionna menambahkan, flexing kadang menjadi cara seseorang untuk kembali membangun rasa percaya diri.

“Dari flexing, seseorang mungkin saja merasa mendapatkan rasa kepercayaan dirinya kembali, mendapat rasa bangga yang dia tidak dapatkan dari diri sendiri sehingga mencari validasi dari pihak eksternal,” jelasnya.

Bagi sebagian orang, pujian berupa likes atau komentar positif bisa memberikan semangat baru yang tidak didapatkan dalam kehidupan nyata.

Fenomena flexing, antara pamer dan kebutuhan psikologis

Fenomena flexing pada akhirnya tidak bisa dilihat hanya dari satu sisi. Bagi sebagian orang, ini adalah ekspresi identitas dan pencapaian. 

Bagi yang lain, flexing adalah cara untuk membangun citra diri atau mencari validasi eksternal.

Meski begitu, para ahli menekankan pentingnya keseimbangan. Menggunakan flexing sebagai sarana ekspresi sah-sah saja, selama tidak menjadikan validasi dari orang lain sebagai satu-satunya sumber kebahagiaan.

https://lifestyle.kompas.com/read/2025/09/03/113500020/7-tujuan-orang-flexing-di-media-sosial-menurut-psikolog-tak-selalu-pamer

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com