KOMPAS.com - Meski memandang pernikahan sebagai sesuatu yang menakutkan, beberapa orang tetap menjalani hubungan romantis dan berpacaran tanpa berniat melangkah ke jenjang yang lebih serius.
Padahal idealnya pacaran memiliki arah, seperti dituturkan oleh psikolog klinis Yustinus Joko Dwi Nugroho, M.Psi. yang berpraktik di RS DR Oen Solo Baru.
“Justru yang namanya pacaran, kita harus punya muara yang jelas. Kalau masih punya ketakutan-ketakutan yang dibawa, tentu akan memengaruhi bagaimana dia menjalin sebuah relasi,” kata Joko saat dihubungi Kompas.com beberapa waktu lalu.
Rasa takut untuk menikah yang terbawa ke dalam masa berpacaran ini bisa muncul dari banyak hal, seperti pengalaman buruk dalam keluarga, cerita perceraian di sekitar, dan pengaruh lingkungan sosial.
Ketika rasa takut menikah hadir, hubungan pacaran pun seringkali tidak berjalan mulus. Tidak menutup kemungkinan pertengkaran tentang komitmen jangka panjang juga bisa muncul.
“Selama masih ada ketakutan, jelas akan membuat individu selalu menghindar ketika ditanya mengenai komitmen seperti pernikahan,” ujar Joko.
Seseorang akan tampak ambivalen, atau keadaan ketika ada dua pandangan yang saling bertentangan hadir secara bersamaan.
Dalam kasus ini, orang tersebut memang nyaman menjalin hubungan romantis dengan pasangannya. Namun, terkait pernikahan, ia akan bersikap, “Ah, nanti dulu deh”.
“Kalau terkait dengan menikah, selalu ada saja alasannya,” kata Joko.
Bakal ada banyak alasan yang disampaikan saat ditanya mengenai pernikahan, yang mana mungkin tidak sepenuhnya benar, entah perekonomian yang masih belum stabil atau terhambat restu orangtua.
“Yang satu pengin serius untuk menikah, yang satu tidak. Ini kalau tidak jujur dan dibicarakan dengan baik, hubungan bisa putus karena ada perbedaan tujuan. Tentu yang mau serius akan capek (menunggu) maka harus ada satu tujuan yang sama,” terang Joko.
Tidak semua orang yang berpacaran berniat membawa hubungan ke jenjang yang lebih serius.
Namun, hubungan yang sudah berjalan sampai belasan bahkan puluhan tahun, bisa mengubah pikiran seseorang.
Bisa saja salah satu pihak mulai berniat untuk membawa hubungan ke jenjang yang lebih serius, sedangkan pihak lainnya ingin hubungan tetap seperti itu.
Padahal pacaran dalam waktu yang lama bisa sebagai komitmen jangka panjang. Bukankah ini sama seperti menjalin hubungan pernikahan, yang merupakan komitmen jangka panjang?
“Betul menikah adalah komitmen jangka panjang, tapi disertai dengan ekspektasi masyarakat tentang peran suami dan istri, seperti istri perlu berbakti pada suami dan suami perlu jadi pencari nafkah. Tapi ekspektasi tersebut belum ada di masa pacaran,” terang psikolog klinis dewasa dan peneliti relasi interpersonal Dr. Pingkan C.B Rumondor, M.Psi. beberapa waktu lalu.
Dengan demikian, orang yang takut menikah belum tentu takut berpacaran sampai belasan atau puluhan tahun.
Perbedaan hubungan pacaran sampai bertahun-tahun dengan hubungan pernikahan adalah ekspektasi terhadap peran sebagai suami, istri, ayah, dan ibu.
“Kalau dilihat dari cara mengukur ketakutan akan komitmen dan kecemasan untuk menikah, bedanya pada ekspektasi tentang institusi pernikahan,” kata Pingkan.
“Selain soal peran suami dan istri, juga ada rasa takut terkait mertua dan keuangan keluarga. Dua hal tersebut tidak ada dalam ketakutan akan komitmen,” sambung dia.
https://lifestyle.kompas.com/read/2025/09/19/113500120/takut-menikah-bisa-bikin-hubungan-pacaran-runtuh-begini-kata-psikolog