JAKARTA, KOMPAS.com - Banyak jenama fesyen yang lebih melek terhadap lingkungan dan limbah tekstil, salah satunya Organic Culture dari Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.
Jenama asal Sky Farm Glenmore di Dusun Krajan, Tegalharjo, Kecamatan Glenmore ini juga memanfaatkan sumber daya alam di area untuk memproduksi berbagai produk fesyen.
“Kami merupakan brand sustainable fashion (jenama fesyen berkelanjutan), ready to wear (siap pakai), yang berdiri tahun 2021 oleh dr. Anita Yuni, yang menerapkan prinsip circular fashion (fesyen sirkular), responsible (bertanggung jawab), serta upcycle fashion (fesyen daur ulang) dan renewable (terbarukan),” kata COO Organic Culture, Wanda saat ditemui di acara Langkah Membumi oleh Blibli di Jakarta Selatan, Minggu (9/11/2025).
Organic Culture didirikan berdasarkan keresahan akan limbah tekstil yang membeludak, baik dari pabrik tekstil, produsen pakaian, maupun fast fashion.
Pendirian jenama fesyen ramah lingkungan ini selaras dengan riset mandiri yang telah dilakukan terkait material organik.
Artinya, sejak awal Organic Culture didirikan, mereka sudah menggunakan bahan organik yang mudah terurai atau mengalami penyusutan volume lebih dari 50 persen dalam home composter.
“Kami menerapkan prinsip circular fashion, yang mana dalam penerapannya, kami menggunakan bahan-bahan tanaman serat, seperti kapas dan kenaf, sehingga nantinya menjadi serat kain yang bisa terurai oleh tanah,” ucap Wanda.
Mereka pun bertanggung jawab atas limbah sendiri, dan memanfaatkan panel surya dan energi mandiri lainnya dalam proses produksi.
“Kami juga sudah masuk dalam perhitungan kalkulator hijau Bank Indonesia bahwa produk kami sudah melakukan pengurangan karbon sebanyak 1.306 persen dari bisnis biasa,” terang Wanda.
Semua bahan baku yang digunakan untuk memproduksi produk fesyen berasal dari dalam area mereka. Misalnya adalah kapas dan kenaf.
Dua tanaman tekstil ini juga dimanfaatkan sebagai tanaman refugia bagi tanaman pangan, alias tanaman pengendali hama.
“Di kawasan kami ada tanaman konservasi, tanaman akar wangi dan sereh, yang kami ekstrak melalui mesin penyulingan atau distilasi, untuk diambil minyak atsirinya untuk dibuat parfum dan essential oil,” tutur Wanda.
Wanda mengatakan, Organic Culture juga bergerak dalam bidang sosial untuk menjaga lingkungan, khususnya area pantai.
Mereka berkolaborasi dengan sekolah-sekolah untuk mengadakan pembersihan area tepi pantai setiap tahun.
“Nantinya, limbah plastik yang ditemukan di pesisir pantai bisa dijadikan produk fesyen kayak misalnya kancing dan ring gesper. Limbah kain perca di pesisir pantai juga kita ada upaya untuk membuat bean bag,” ucap dia.
Salah satu koleksi yang memanfaatkan limbah plastik adalah Marine Debris melalui kancing dan ring gesper.
Terkait inklusivitas, Organic Culture berkolaborasi dengan para Teman Tuli lewat Unit Layanan Disabilitas Terintegrasi Banyuwangi untuk menciptakan koleksi Bara Nusa (Batik Respon Alam Karya Anak Luar Biasa).
Koleksi ini memiliki motif batik yang dibuat menggunakan bebatuan dan ranting, serta bordir bermotif bahasa isyarat.
“Mereka menciptakan suatu kode morse di batu, lalu disusun menjadi kalimat ‘be kind’ (berbaik hatilah). Bordiran bahasa isyarat di Bara Nusa artinya ‘aku, kamu, kita, di dunia, setara’. Kami ingin mengajak semua orang untuk menerapkan kesetaraan,” pungkas Wanda.
https://lifestyle.kompas.com/read/2025/11/10/203500820/organic-culture-brand-asal-banyuwangi-yang-inklusif-dan-ramah-lingkungan