Surah An Nisa Ayat 1 menyatakan bahwa salah satu fitrah manusia adalah diciptakan berpasang-pasangan, yaitu laki-laki dan perempuan.
Tujuan dari penciptaan berpasang-pasangan itu agar antara keduanya dapat menikah dan hidup bersama di bawah satu tenda bernama "keluarga".
Dalam Kristen, pernikahan dipandang sebagai perjanjian spiritual yang menyatukan dua insan dalam menjalankan sabda Tuhan.
"Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi" (Kejadian 1:28).
Kini, kesakralan pernikahan berhadapan dengan cara pandang kritis generasi muda. Banyak di antara mereka mulai mempertanyakan, bahkan menolak gagasan bahwa menikah adalah keharusan moral bagi setiap orang.
Data sosial terbaru memperlihatkan adanya perubahan cara pandang yang semakin menonjol di tengah kaum muda Indonesia.
Survei Litbang Kompas (16/11/2025) menunjukkan bahwa meskipun 71,8 persen responden masih memandang pernikahan sebagai keharusan bagi semua orang, terdapat 27,1 persen yang menilai bahwa pernikahan tidak lagi bersifat wajib.
Kelompok lajang bahkan menunjukkan sikap lebih progresif: 50,5 persen menganggap hidup melajang sebagai pilihan hidup yang sah dan tidak perlu dibebani stigma.
Temuan ini menandai pergeseran signifikan dalam orientasi nilai generasi modern. Bagi banyak orang, pernikahan kini bukan lagi satu-satunya jalur menuju kehidupan yang utuh, melainkan salah satu opsi di antara berbagai bentuk pencarian makna dan kebahagiaan.
Tren penurunan minat menikah yang terlihat dalam data nasional bukan sekadar angka statistik, tetapi sinyal perubahan orientasi hidup kaum muda Indonesia.
Catatan BPS menunjukkan bahwa dari sekitar dua juta pernikahan pada 2018 menjadi 1,5 juta pada 2023.
Sementara itu, data Kemenag DKI memperlihatkan pola serupa dengan jumlah pernikahan yang merosot dari 47.226 pasangan pada 2022 menjadi 40.472 pada 2024.
Data kepemudaan 2024 yang mencatat 69,75 persen pemuda usia 16–30 tahun belum menikah mengonfirmasi perubahan itu.
Penurunan ini dapat dibaca sebagai bentuk penyesuaian terhadap kondisi struktural, yaitu regulasi yang lebih ketat, tekanan ekonomi meningkat, dan nilai-nilai keluarga yang bergeser menuju orientasi individual.
Pernyataan Kepala Kanwil Kemenag DKI dalam wawancara RRI Pro3 FM (2025) pun memperkuat bahwa dimensi ekonomi dan sosial menjadi faktor dominan yang menunda atau mengubah keputusan menikah.
Jika dianalisis lebih jauh, data ini memperlihatkan bahwa generasi muda semakin melakukan kalkulasi rasional sebelum memutuskan menikah.
Survei Populix 2025 menunjukkan 53 persen responden memilih memprioritaskan karier, sementara 44 persen merasa hidupnya sudah stabil dan bermakna tanpa pernikahan.
Angka-angka ini tidak hanya menggambarkan preferensi, tetapi juga reaksi terhadap kenaikan biaya hidup, harga properti yang terus melambung, dan ketidakpastian pekerjaan.
Banyak penelitian sosial menunjukkan bahwa ketika tekanan ekonomi meningkat, pernikahan cenderung dibaca sebagai komitmen finansial baru yang berpotensi membebani.
Karena itu, pilihan menunda atau tidak menikah bukanlah indikasi melemahnya nilai keluarga, melainkan adaptasi logis terhadap realitas yang jauh lebih kompleks.
Pergeseran ini menegaskan bahwa keputusan menikah kini semakin dipandu oleh pertimbangan rasional, kesiapan ekonomi, dan evaluasi mendalam terhadap kualitas hidup yang ingin dicapai.
Alasan psikologis juga memengaruhi keputusan generasi muda. Banyak orang takut terhadap risiko kegagalan pernikahan seperti yang terjadi di lingkungannya.
Badan Peradilan Agama mencatat 399.921 kasus perceraian pada 2024. Angka ini jauh di atas tingkat perceraian sebelum pandemi (Badilag MA, 2024).
Mereka yang melihat konflik dalam keluarganya atau mengalami trauma hubungan cenderung menunda pernikahan. Bagi mereka, keputusan melajang menjadi bentuk perlindungan emosional yang dirasa lebih aman.
Kemandirian finansial perempuan turut mengubah peta pernikahan. Pendidikan tinggi dan peluang kerja yang lebih luas membuat perempuan semakin mandiri. Mereka tidak lagi bergantung pada pernikahan untuk stabilitas ekonomi.
Komnas Perempuan mencatat tren perempuan mapan yang memilih child free atau memilih tidak menikah (Qibtiyah, Ruang Asa, 2025).
Qibtiyah menjelaskan alasan lain, bahwa dalam Islam, menikah adalah anjuran, bukan kewajiban. Memiliki anak juga bukan keharusan. Perspektif ini memberi ruang bagi perempuan untuk memilih sesuai kondisi hidupnya.
Perubahan budaya dan kemajuan teknologi kini semakin kuat memengaruhi pilihan hidup generasi muda.
Survei APJII 2025 mencatat jumlah pengguna internet Indonesia mencapai sekitar 229 juta orang, menandakan hampir seluruh aktivitas anak muda terhubung dengan ruang digital.
Media sosial dan platform online menghadirkan ribuan narasi gaya hidup, dari karier global hingga pola relasi modern.
Aplikasi kencan seperti Tinder, Bumble, atau Tantan membuat proses perkenalan lebih cepat dan hubungan lebih fleksibel, sehingga komitmen tidak lagi dipahami secara kaku.
Contohnya, makin banyak pasangan muda di kota besar yang memilih tinggal bersama sebelum menikah, meski praktik ini masih dipandang tabu oleh sebagian masyarakat.
Nilai-nilai tradisional pun perlahan bergeser. Hidup melajang tidak lagi dianggap menyimpang. Banyak orang muda yang justru memprioritaskan perkembangan diri, pengalaman global, atau kebebasan memilih arah hidup dibanding memenuhi ekspektasi budaya lama.
Pilihan untuk tidak menikah sesungguhnya membawa implikasi sosial yang besar. Penurunan angka pernikahan dalam beberapa tahun terakhir, telah memengaruhi struktur demografi nasional, terutama melalui menurunnya angka kelahiran.
Kondisi ini membuat Indonesia berpotensi mengalami percepatan penuaan penduduk, pola yang sebelumnya terjadi di Korea Selatan dan Jepang.
Data BPS 2024 menunjukkan bahwa meskipun jumlah penduduk usia produktif terus meningkat, jumlah pernikahan justru menurun secara signifikan.
Jika tren ini berlanjut, keunggulan bonus demografi yang selama ini menjadi modal pembangunan bisa menyusut lebih cepat.
Karena itu, negara perlu menyiapkan kebijakan yang mampu menjaga stabilitas komposisi penduduk, baik melalui dukungan keluarga muda maupun strategi jangka panjang untuk mengimbangi perubahan pola hidup masyarakat.
Meskipun sering disalahpahami, keputusan untuk melajang tidak selalu mencerminkan kegagalan berelasi. Individu modern semakin terdorong menjadi agentic, yakni mengatur hidup berdasarkan kapasitas diri dan tujuan personal.
Karena itu, masa melajang dipakai banyak orang sebagai fase investasi diri. Laporan gaya hidup urban 2025 menunjukkan semakin banyak profesional muda yang mengikuti kursus daring, membangun portofolio kreatif, atau memperluas jejaring global tanpa tekanan membagi waktu dengan pasangan.
Figur publik seperti Marshanda, yang aktif mendalami berbagai pelatihan pemulihan diri, maupun seniman Heri Dono yang konsisten memilih ruang hidup soliter untuk menjaga fokus berkarya di kancah internasional (Kompas, 16/11/2025), memperlihatkan bahwa hidup melajang dapat menjadi strategi pengembangan diri yang rasional.
Contoh-contoh ini menegaskan bahwa pilihan melajang bukan sekadar status sosial, tetapi bentuk pencarian makna, otonomi, dan aktualisasi yang sah dalam masyarakat modern.
Keputusan untuk menikah atau tetap melajang kembali pada otonomi moral setiap individu. Pilihan hidup bukanlah sekadar kepatuhan pada norma tradisi, melainkan usaha manusia merespons perubahan sosial dan tekanan zaman dengan kesadaran diri.
Meningkatnya biaya hidup, tuntutan karier, serta dinamika relasi modern membuat sebagian orang memilih jalan berbeda tanpa harus menentang agama atau budaya.
Keputusan yang baik lahir dari refleksi mendalam tentang makna kebahagiaan dan tanggung jawab pribadi.
Karena itu, masyarakat perlu memberi ruang bagi setiap orang untuk menentukan arah hidupnya sendiri.
Baik menikah maupun melajang sama-sama memerlukan kesiapan batin, kejujuran terhadap diri, dan komitmen untuk hidup secara autentik.
Yang terpenting adalah memastikan pilihan itu diambil dengan kesadaran penuh, tanpa paksaan, dan dengan rasa hormat terhadap diri sendiri maupun orang lain.
https://lifestyle.kompas.com/read/2025/11/18/080815020/mengapa-tren-memilih-tidak-menikah-meningkat