Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Post-traumatic Stress Disorder", Apa Itu ?

Kompas.com - 01/03/2009, 02:01 WIB

Sawitri Supardi Sadarjoen psikolog

”Post-traumatic stress disorder” atau PTSD adalah keadaan yang biasanya ditandai ketakutan dan kecemasan berlanjut yang bersifat traumatis terhadap kejadian tertentu.

Kejadian itu yang merupakan stresor katastrofik pada masa lalu, tetapi berakibat lanjut, seolah tidak mungkin pulih.

Biasanya reaksi panik yang muncul lebih kurang sama intensifnya dengan saat stresor sebenarnya terjadi. Yang bersangkutan merasa selalu dibayangi kemungkinan berulangnya kejadian yang pernah mengancam keselamatannya tersebut bila menghadapi keadaan sama.

”Penyakit trauma sudah saya alami sejak tahun 2001, sebulan sebelum gedung WTC di Amerika Serikat hancur. Saat itu saya, suami, dan rombongan baru melakukan muhibah ke beberapa negara Eropa.

Saat kembali ke Tanah Air, kami menumpang pesawat Boeing 747 milik maskapai dalam negeri dari bandara Frankfurt, Jerman Barat. Satu jam 20 menit kemudian, kami yang kecapaian duduk 14 jam dalam pesawat dibangunkan dan tanpa sadar melepas seat-belt. Suami serta teman di sebelah ikut melepas seat belt.

Selagi sarapan dan troli berada lima baris di belakang saya, tiba-tiba pesawat terempas hingga 200 kaki lebih. Otomatis kami yang tidak memakai seat belt langsung terempas ke langit-langit pesawat dan jatuh mengempas kursi. Saat itu saya pikir kami sudah mati.

Ternyata kepala bisa menahan benturan, sedangkan leher dan punggung yang mengempas bangku tidak sekuat kepala. Sakitnya berbulan-bulan. Beruntung kepala dan jidat saya tidak berdarah seperti puluhan penumpang lain, termasuk penumpang asing yang akan berlibur ke Bali.

Untuk memulihkan kondisi, saya dan suami harus bolak-balik ke rumah sakit tulang di Jakarta Selatan. Dua bulan lebih kami harus tidur seperti robot.

Sejak kejadian itu, saya trauma naik pesawat hingga berani menolak tugas ke luar kota atau ke luar negeri. Adapun suami saya empat bulan sejak kejadian traumatis tersebut menerima tugas dari kantor ke Sulawesi Selatan.

Empat tahun lalu kantor memberi kesempatan naik haji dan saya berniat nyekar dulu ke kuburan ibunda di Makassar. Ternyata yang saya takutkan terjadi: stres selama pesawat mengudara, baik saat pergi maupun pulang. Padahal, perjalanan hanya dua jam.

Ajaibnya, saat persiapan naik haji sepertinya saya lupa trauma naik pesawat. Trauma kembali saat hendak pulang haji. Obat Valium 5 yang saya minta dari dokter di rombongan haji tidak membantu, malah keluar darah dari hidung.

Saya mencoba naik pesawat lagi dua tahun lalu ketika keluarga besar akan berlebaran di daerah. Saya langsung mengunjungi psikiater dan diberi obat kuat untuk naik pesawat yang empat jam perjalanan.

Belum yakin akan obat tersebut, saya nekat membeli tiket untuk ikut seminar seorang pakar manajemen yang saya dengar mampu mengobati trauma orang. Usai seminar, saya mendapat waktu menemui pakar itu. Tangan saya dipegang dan diberi sugesti agar berani naik pesawat. Saya tidak tahu apakah keberanian naik pesawat disebabkan obat dari psikiater atau dari sugesti pakar tersebut, tetapi saya berani terbang dan berlebaran bersama keluarga besar di daerah. Beruntung, saya mampu nekat karena setahun kemudian Ayah meninggal dunia.

Saat ini trauma saya kembali dan saya sudah dua kali membatalkan penerbangan. Banyak yang menyarankan agar saya pasrah, tetapi saya tetap trauma. Anehnya, saya tidak takut naik tornado dan buggy jumping yang merupakan hobi saya, juga tidak takut naik mobil berkecepatan tinggi. Saya sadar saya seperti katak dalam tempurung. Tidak bisa ke mana-mana. Mungkin Ibu punya cara untuk membuat saya sembuh dari trauma tersebut?” Demikian Ny N.

Analisis

Trauma yang dialami Ny N benar-benar katastrofik luar biasa. Terjadinya saat baru bangun tidur setelah kelelahan di perjalanan dan sedang merasakan ketenangan sarapan di pesawat. Peristiwa itu tidak terduga, intens sifatnya, dengan akibat berbulan menderita fisik dan tekanan mental.

Menyimak kemampuan mengatasi rasa takut naik pesawat saat pergi haji, pulang berlebaran dengan keluarga besar, serta niat kuat berlebaran bersama keluarga besar, kita mendapat pencerahan akan kemampuan mental Ny N sebagai modal dasar mengatasi traumanya.

Apalagi Ny N tidak takut naik mobil kencang, masih dapat buggy jumping dan naik tornado, jenis hobi yang dapat dikelompokkan membutuhkan modal kekerasan hati menghadapi ancaman keselamatan jiwa dan raga.

Dapat ditarik kesimpulan sementara, melalui niat kuat, ditambah sugesti, baik obat psikiater maupun sugesti emosional dari pakar manajemen, Ny N mampu naik pesawat tanpa trauma dan selamat pula sampai tujuan. Bahkan bisa bersyukur karena setahun kemudian ayahnya wafat di daerah.

Saran saya, Ny N hendaknya benar-benar menghayati serta menyadari modal mental dasar di atas untuk kemudian mencari psikolog klinis atau psikiater yang memiliki keahlian dalam terapi perilaku yang sekota.

Terapi perilaku membutuhkan kerja sama Ny N serta waktu pertemuan berulang dan agak lama. Pada awal kerjanya, terapis akan melatih Ny N mampu membuat diri rileks secara fisik dan mental melalui latihan relaksasi progresif.

Setelah Ny N memiliki kemampuan membuat diri rileks secara optimal, baru diikuti teknik terapi perilaku spesifik yang dipilih terapis sesuai kepribadian Ny N dan kesediaan Ny N terus bekerja sama dalam melaksanakan rencana rangkaian terapi. Semoga berhasil mengatasi trauma tersebut.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com