Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hidup Bersama HIV/AIDS Sampai Mati

Kompas.com - 24/03/2009, 20:22 WIB

Kompas.com - Gerak-geriknya ringan nan riang. Mata berbinar menangkap setiap obyek yang ditatapnya. Orang tidak mengira kalau dia berstatus sebagai Odha atau Orang Dengan HIV/AIDS. Tanpa ragu dia beranjak lalu duduk disamping Kompas.com. "Nama saya Hendrik Harlina," katanya sambil menyodorkan tangan dengan tetap memelihara senyum keramahan yang sejak awal diperlihatkannya.  

Menurut penuturannya, ia sudah terinfeksi AIDS. "Saya tertular dari jarum suntik. Sejak tahun 1997 saya memakai narkoba dan baru 2002 berhenti," katanya dengan tenang sambil merapikan rambut depan yang dicat merah itu.  

Menurut Prof. Dr. Zubairi Djoerban, Sp.PD dari Pusat Pelayanan Terpadu HIV/AIDS RS Cipto Mangunkusumo Jakarta para Odha, seperti Hendrik, terus bertambah dari tahun ke tahun. Estimasi Odha tahun 2002 berjumlah 108.000, tahun 2006 ada 193.000 sedangkan pada tahun 2008 ada 270.000 orang, kata Zubairi dalam acara Presentasi dan Pameran Usaha Odha di Aula FKUI Jakarta, Selasa (24/3).  

Jumlah tersebut, lanjut Zubairi, memposisikan Indonesia sebagai negara kelima terbesar yang memiliki Odha, setelah Vietnam. Untuk itu, masalah ini perlu disikapi dengan serius. Ada beberapa cara menghadapi persoalan Odha ini, tetapi yang paling ampuh adalah melakukan pengobatan dengan ARV, kata Zubairi. ARV adalah Anti-retroviral yang adalah obat HIV/AIDS.  

AIDS ada Obatnya

Sebagaimana disebut di atas, jumlah Odha pada tahun 2008 adalah 270.000. Tetapi, sampai pada akhir 2007, sebagaimana disampaikan Zubairi, baru 17.000 Odha saja yang mendapat ARV. Dengan demikian, masih ada sekitar 253.000 Odha yang belum tersentuh pengobatan.  

Menurut Zubairi pengobatan dengan ARV ini sangat bermanfaat. Beberapa contohnya, seperti yang dikutip Zubairi dari berbagai penelitian internasional, dapat dikatakan sebagai berikut.  

Pertama, Odha dengan Viral Load (VL atau virus) 1500 maka sedikit kemungkinanya ia bisa menularkan HIV. Hal ini juga berguna bagi seorang ibu yang terkena HIV/AIDS yang sedang mengandung. Jika ibu ini mengkonsumsi ARV sejak awal kehamilannya sampai menjelang kelahirannya maka bayinya tidak akan tertular, kata Zubairi.  

Kedua, dengan ARV maka prevalensi HIV pasangan turun dari 10,3 persen (1991-1195) menjadi 1.9 persen (1999-2003; P; 0,0061). Selain itu, Odha yang minum ARV membuat penularan HIV turun sampai 80 persen.  

Namun, Zubairi menegaskan bahwa berbagai manfaat tersebut akan terjadi jika para Odha teratur minum ARV. Sebulan saja ia tidak teratur maka virusnya akan resisten. Kalau sudah begitu maka harus dilakukan pengobatan lini kedua. Padahal itu sulit dan obatnya sangat terbatas di Indonesia, terang Zubairi.  

Jika pengobatan dilakukan dengan disiplin maka Odha dengan CD4+ 500 cells/mm3 selama 6 tahun, setelah mendapat ARV Odha tersebut mempunyai tingkat kematian yang sama dengan masyarakat umum. Artinya, dengan ARV dia seperti orang pada umumnya yang tidak terkena HIV/AIDS , tegas Zubairi.  

CD4 adalah sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel-sel darah putih manusia, terutama sel-sel limfosit. Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara 1400-1500. Sedangkan pada orang dengan sistem kekebalan yang terganggu oleh karena terinfeksi HIV maka nilai CD4 sem akin lama akan semakin menurun, bahkan pada beberapa kasus bisa sampai nol .

Mau Mati Tua

"Semoga saya bisa dipanggil karena tua bukan karena AIDS," kata Hendrik sambil tersenyum. Tampaknya kalimat inilah yang membuatnya selalu rajin menegak 3 jenis ARV tiap hari.  

"Dalam 24 jam saya makan obat dua kali," kata Hendrik yang dinyatakan positif HIV AIDS tahun 2006. Dan itu diminumnya seumur hidup. Ia mengaku menerima keadaan ini walau sebelumnya ia sempat menyesal karena kelekatannya dengan narkoba membuat virus HIV bersarang pada tubuhnya.  

Sikap penerimaan ini sangat perlu karena ia telah beristri dan memiliki seorang anak berumur 4,5 tahun. "Tetapi Puji Tuhan, isteri saya negatif dan begitu juga dengan anak saya," kata Hendrik yang bergabung dengan Yayasan Tegak Tegar yang mendampingi para Odha sejak dua tahun terakhir.  

Cita-citanya saat ini adalah ingin sekali membesarkan dan mendidik anaknya sampai sukses. "Untuk itulah saya sekarang berjuang untuk terus hidup dan bekerja," kata Hendrik yang mengaku bekerja sebagai sales lakban ini.  

Untuk menjaga kesehatannya, ia telah menghindari narkoba dan miras yang pernah menjadi bagian dari dirinya. Ia juga mengurangi merokok dan bergadang. Dan yang terpenting makan makanan yang sehat dan teratur minum obat, ungkap Hendrik yang menikah pada tahun 2004.  

Segala usaha untuk bertahan dan berelasi khusus dengan keluarga, ternyata masih sulit untuk menembus stigma negatif dari masyarakat. Menurutnya masyarakat masih risih dan alergi untuk dekat dengan Odha.  

Tidak hanya masyarakat, rumah sakit juga masih bersikap diskriminatif. "Seperti yang dialami banyak teman saya, banyak perawat yang tidak mau memberi perawatan atau dengan sengaja rumah sakit menolak Odha yang hendak rawat inap padahal masih ada kamar kosong," ungkap Hendrik yang mimik mukanya berubah sedih.  

Karena stigma negatif yang masih dilekatkan masyarakat ini membuat para Odha menyembunyikan penyakitnya demi melindungi keluarganya. Hal itu tampak sekali diperlihatkan Hendrik dan Caroline Thomas. "Sampai saat ini para tetangga saya tidak tahu kalau saya Odha," kata Hendrik yang bertempat tinggal di Jembatan Lima, Tambora, Jakarta Barat.  

"Bukannya saya tidak menerima keadaan saya, tetapi saya khwatir anak saya tidak diterima dalam masyarakat, disingkirkan dan yang paling tidak saya harapkan adalah ia tidak bisa sekolah lantaran saya," katanya. Itulah juga yang menjadi alasannya tidak mau difoto oleh Kompas.com.  

Hal mirip juga dirasakan Caroline Thomas, anggota Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) yang bergerak dalam pendampingan perempuan Odha. Caroline yang ditemui di stand IPPI yang memamerkan karya Odha tidak mau kisah hidupnya ditulis. "Bukanya tidak mau, tapi saya khawatir dengan suami saya. Saya takut ia akan disingkirkan masyarakat atau mungkin dipecat dari kerjanya gara-gara saya," kata Caroline yang belum lama menikah.  

Baik Hendrik maupun Caroline sangat menyesalkan stigma negatif yang disematkan sebagaian besar masyarakat pada kaum Odha. Padahal, dengan pengobatan yang teratur para Odha bisa beraktivitas layaknya orang pada umumnya. Penularannya pun tidak segampang yang masyarakat pikirkan. "Orang mandi bersama dan ciuman aja tidak tertular kok," pungkas Hendrik.  

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com