Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Koalisi Pragmatis, Tanpa Pertimbangan Visi-Misi

Kompas.com - 27/04/2009, 05:41 WIB

Cecep Effendi mempertanyakan manfaat koalisi model itu, terutama kejelasan program yang betul-betul dibuat untuk kepentingan rakyat. ”Sampai sekarang belum jelas koalisinya, kapan bikin program bersama,” katanya.

Menurut Cecep, harus ditunggu apakah program yang ditawarkan sebuah parpol menjelang pemilu legislatif lalu masih bisa tecermin dalam koalisi. Pasalnya, setiap parpol dalam kampanye pemilu legislatif lalu telanjur menawarkan program yang bisa jadi berseberangan dengan calon mitra koalisinya. Bisa jadi ada visi-misi penting dari sebuah parpol yang akhirnya tidak tersepakati saat berkoalisi.

”Misalnya, ada partai yang mengatakan akan membuat pendidikan gratis dan ketika masuk dalam koalisi ternyata tidak masuk dalam program mereka,” kata Cecep.

Direduksi

Sekretaris Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat Masykurudin Hafidz menilai, aspirasi rakyat direduksi dengan hanya dijadikan modal dalam tawar-menawar kekuasaan. Seharusnya paparan rancangan program kebijakan sebagai sarana negosiasi mendahului proses tawar-menawar tersebut.

Masyarakat pemilih yang telah memberikan suara dalam pemilu legislatif mesti sejak awal mengetahui rencana program sebagai landasan proses koalisi. Langkah itu merupakan wujud pendidikan politik rakyat yang dilakukan partai politik serta menjadi catatan janji yang bakal ditagih nanti.

Dengan kata lain, menurut Qodari, koalisi parpol idealnya memang didasari kesamaan ideologi atau platform politik. Hanya saja, saat ini koalisi lebih didasari pada upaya memenuhi syarat pencalonan serta kalkulasi untuk menang dalam pilpres.

Semestinya, parpol berani mengajak parpol lain yang punya platform sama, serta tidak perlu mengajak parpol lain yang platformnya berbeda. Kenyataannya, hal sebaliknya yang kerap dilakukan. ”Tujuannya meraih dukungan suara sebanyak-banyaknya,” kata Qodari.

”Koalisi pragmatis ini merupakan dampak langsung dari sistem politik kita yang lebih bersifat parlementer. Padahal, pemerintahan kita bersifat presidensial,” tambah Yudi.

Ketidakkonsistenan dalam penggunaan sistem presidensial membuat pemerintahan lima tahun ke depan tidak akan banyak berubah dibandingkan sekarang. Kabinet akan dibentuk berdasarkan perhitungan pembagian kekuasaan dan bukan keahlian. ”Pemerintah juga tetap akan disibukkan oleh tawar-menawar dengan parlemen. Padahal, eksekutif seharusnya tinggal melaksanakan, tak perlu tawar-menawar,” ucapnya. (NWO/DIK)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com