Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Koalisi Pragmatis, Tanpa Pertimbangan Visi-Misi

Kompas.com - 27/04/2009, 05:41 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com - Koalisi yang sedang digagas sejumlah parpol guna menghadapi pemilu presiden tidak dibangun dari persamaan nilai atau cita-cita perjuangan partai. Koalisi lebih didasarkan pada kepentingan yang amat pragmatis, yaitu memenangi perebutan kekuasaan pada pemilu presiden 8 Juli 2009.

Bangunan koalisi seperti itu dikhawatirkan akan sulit membangun pemerintahan yang kuat dan efektif. Pemerintahan tetap akan disibukkan oleh pembagian kekuasaan dibandingkan melaksanakan program kerja.

Demikian disampaikan pemerhati politik dari Universitas Indonesia Arbi Sanit, Direktur Eksekutif Reform Institute Yudi Latif, Tommy Legowo dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia, peneliti The Indonesia Institute Cecep Effendi, dan Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari, secara terpisah akhir pekan ini (26/4).

Pernyataan itu mereka sampaikan menanggapi mulai jelasnya peta koalisi menghadapi pilpres. Partai Demokrat kemungkinan besar akan bergabung dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Sedangkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) sudah jelas menunjukkan arah koalisi bersama Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura).

Sekilas, koalisi yang dibangun PDI-P, Hanura, dan Gerindra punya kesamaan latar belakang, yaitu nasionalis sekuler. ”Namun, sebenarnya ada perbedaan latar belakang, prinsip, dan nilai di antara mereka. Koalisi itu lebih disatukan kepentingan, yaitu kegagalan pada Pemilu 2004 dan perasaan sakit hati karena merasa dicurangi pada pemilu,” kata Arbi.

Hal serupa terlihat dalam koalisi yang dibangun Demokrat dengan PKS dan PKB. ”Jika dilihat secara ideologi, cukup aneh PKS bisa bersatu dengan PKB,” kata Yudi menambahkan.

Pragmatisme dalam pembangunan koalisi, lanjut Yudi, makin terlihat dari mudahnya perubahan sikap, seperti yang diperlihatkan Partai Golkar. ”Karena gagal bernegosiasi dengan Partai Demokrat, Golkar lalu mendekati PDI-P. Ini sinyal kuat jika koalisi lebih dibangun berdasarkan pertimbangan transaksional, dalam arti materi dan kekuasaan,” papar Yudi.

Kuatnya pertimbangan memenangi kekuasaan dalam pembangunan koalisi, menurut Tommy Legowo, juga terlihat dari tiadanya pembahasan program di antara mereka yang berkoalisi. ”Misalnya, PDI-P dan partai yang mungkin diajaknya berkoalisi belum pernah terdengar membahas apakah program penghapusan kemiskinan akan dilakukan lewat program kedermawanan pemerintah seperti bantuan langsung tunai, atau dengan meningkatkan kapasitas masyarakat,” katanya.

PKS, lanjut Tommy, juga belum terdengar menyatakan keputusan bergabung dengan Demokrat berarti mereka mendukung seluruhnya program partai itu, termasuk dalam usaha untuk keluar dari krisis global.

Pragmatisme dalam membangun koalisi ini, menurut Tommy, antara lain diakibatkan oleh banyaknya partai dan tiadanya pihak yang dapat memenangi pemilu dengan mutlak.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com