Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berani Melepaskan Diri dari Comfort Zone

Kompas.com - 28/07/2009, 18:32 WIB

KOMPAS.com - Dalam hidup, ada beberapa hal yang tak bisa dilepaskan, sehingga akhirnya kita merasa seperti sedang berjalan di tempat. Padahal, bisa jadi hal-hal itu tetap kita pegang erat hanya untuk menjaga kenyamanan. Kita enggan keluar dari zona nyaman. Contoh nyata, berapa kali kita melihat teman yang tak bisa lepas dari pasangannya yang gemar berselingkuh, hanya atas nama cinta? Sesungguhnya, yang mereka bela bukanlah cinta, melainkan ikatan kebersamaan yang sudah lama terjadi.

Menurut psikolog Toge Aprilianto, M.Psi, dewan penasihat majalah Prevention, keengganan lepas dari ikatan adalah hal yang wajar terjadi. Sebab, dengan melepaskan diri dari ikatan, hidup kita jadi tidak nyaman. Tidak bisa kita kendalikan dengan mudah. Tidak seimbang. Bagi kita, keseimbangan adalah tujuan utama dalam hidup. Seperti halnya tubuh yang sehat atau pun hubungan penuh damai dengan orang di sekitar.

Namun, kontradiktifnya manusia, kita juga selalu mendambakan perubahan dalam hidup. Jelas, kita di hari ini tidak sama dengan diri kita 10 tahun lalu. Ada berbagai hal yang kita capai. Dan, dalam meraihnya, mau tak mau kita harus menantang diri untuk keluar dari wilayah mapan. Karena dari situ lah, kita akan berkembang, bahagia, dan semakin seimbang lagi. Sebenarnya, melepaskan diri dari ikatan bukan lah yang mustahil untuk dilakukan. "Yang perlu dikembangkan adalah kesanggupan untuk belajar, dalam artian kita mau sekaligus mampu untuk melakukannya," kata Toge menjelaskan.

Semakin tinggi kesanggupan kita untuk belajar, semakin tinggi keberanian kita untuk melepaskan diri dari ikatan. Namun untuk mencapai hal besar, kita perlu mulai dari yang simpel. Jadi, awali dengan "menaklukkan" berbagai ikatan yang sudah lazim ada di kehidupan sehari-hari. Menurut Toge, dalam melepaskan diri dari ikatan, kita akan selalu dihadapkan pada dua pilihan: take it or leave it. Apa pun yang dipilih, akan sama baiknya. Yang penting, pilihan itu membuat kita mendapat kembali rasa nyaman yang diinginkan," terangnya. "Namun, untuk menentukan pilihan, kita harus mau menghadapi gangguan keseimbangan yang akan terjadi." Nah, sudah siapkah kita melepaskan diri dari ikatan-ikatan tersebut? Lihat beberapa contohnya di sini.

Tetap bertahan bekerja, meski sebenarnya sudah tidak betah
Tak terhitung sudah berapa kali kita menggerutu kondisi kantor pada orang-orang terdekat. Namun, kita tak kunjung berani mengajukan pengunduran diri. Kita boleh berdalih, ada banyak pertimbangan. Tetapi sebenarnya, bisa jadi faktor keluarga, anak, hingga sulitnya mencari kerja di masa krisis bukan persoalan utamanya. Melainkan rasa takut menjelang hari depan tanpa penghasilan. Padahal, esok akan tetap datang, apa pun yang terjadi. Bila begitu, apa yang "sanggup" kita lakukan?

Take it? Apabila kita masih ingin bertahan, Toge menyarankan untuk menyesuaikan mental, agar bisa lebih sesuai dengan situasi yang dihadapi. Jika kita tidak ingin mengubah kondisi sekarang, kita perlu menyesuaikan diri agar bisa menerimanya dengan lapang dada.

Leave it? Hentikan gerutuan dan keluhan tanpa solusi. Lebih baik, cari lowongan pekerjaan di tempat lain, yang sesuai dengan yang kita mau. "Cermati apa yang perlu dilakukan untuk bergabung di sana. Lalu, upayakanlah!" saran Toge.

Berjuang mempertahankan kebersihan dan kedisiplinan di rumah
Kebersihan dan kedisiplinan membuat rumah lebih rapi. Tetapi, ketika kita punya anak, apalagi yang berada di usia aktif, muncullah tantangan. Apakah kita berani mengendurkan aturan demi memberi ruang bagi kreativitas anak? Apakah kita lebih memilih melarang anak-anak bermain di rumah, agar tidak kotor? Atau, kita menyimpan peralatan musik si ABG di gudang, karena setiap kali dimainkan hanya kebisingan yang terdengar? Memang, kesibukan di kantor kerap membuat kita hanya punya sedikit waktu untuk membereskan rumah. Betul, kebisingan suara musik akan mengganggu ketentraman rumah, juga tetangga. Namun, anak-anak tidak akan tumbuh kreatif bila stimulasinya selalu dihambat. Si ABG juga mustahil langsung menjadi sehebat musisi papan atas di kali pertama ia memainkan alat musiknya. Maka, jika kita memilih untuk...

Take it? Kita harus siap akan risiko selanjutnya. Yaitu, sulitnya menjalin relasi dengan anak. Anak akan enggan menjalin relasi dengan kita, karena interaksinya dengan kita selalu membuatnya tidak nyaman. Sama seperti kita yang ingin menikmati zona nyaman (dengan rumah yang bersih dan rapi), ia juga ingin mencapai keseimbangan yang sama. Yaitu, ketika dorongan untuk berkreasinya terpenuhi dan bisa tersalurkan.

Leave it? Dengan keputusan untu mengakomodasi keinginan dan kreativitas anak, kita juga perlu lebih melapangkan dada. Rumah akan bak kapal pecah, kita mungkin tak bisa rileks di sofa sambil membaca novel, sementara di kamar sebelah sana terdengar bunyi musik yang tidak jelas nadanya. "Yang perlu direnungkan, siapakah yang menempati posisi prioritas dalam kehidupan Anda. Apakah Anda atau anak?" ujar Toge. Jika anaklah yang menjadi prioritas, sudah sewajarnya Anda mengorbankan kenyamanan. Berusahalah membangun kriteria dan bentuk kenyamanan yang baru, demi mendukung anak Anda, tambah penulis buku Kudidik Diriku Demi Mendidik Anakku ini.

(Irene J. Meiske/Prevention)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com