Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Ulu Juku", Racikan Ikan Para Calon Guru

Kompas.com - 18/08/2009, 08:17 WIB

Dalam bahasa Makassar, ”ulu” berarti kepala dan ”juku” berarti ikan. Jadi, bila ada rumah makan bernama Ulu Juku, kiranya sudah jelas apa yang disajikan sebagai menu utama di tempat tersebut.

Di Makassar, ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan, sudah ada dua rumah makan bernama Ulu Juku. Satu di Jalan Abdullah Daeng Sirua Nomor 219 dan satu lagi beralamat di Jalan AP Pettarani, salah satu jalan protokol di bagian timur Makassar.

Jujur saja, saya bukan penggemar menu kepala ikan, mau dimasak apa pun. Pengalaman mencicipi kepala ikan sebelumnya, saya selalu direpotkan dengan cara menyantap makanan yang hampir melulu terdiri dari tulang kepala ikan itu. Belum lagi bau amis yang masih melekat saat kepala ikan tersebut dibongkar.

Semua anggapan saya itu berubah saat mencoba berbagai masakan serba kepala ikan di Ulu Juku. Menu pertama yang saya coba adalah gulai kepala ikan, lebih tepatnya kepala ikan kakap merah. Sementara teman saya memesan sup kepala ikan.

Sensasi

Rumah makan Ulu Juku 2 di Jalan AP Pettarani itu sangat ramai pada Jumat (31/7) tengah hari. Maklum, ini waktu makan siang. Beberapa orang bahkan rela berdiri antre untuk mendapatkan jatah tempat duduk. Alhasil, pesanan kami butuh beberapa menit untuk disajikan di meja.

Pada pandangan pertama, tak ada yang istimewa pada tampilan menu-menu kepala ikan ini. Gulainya tak jauh beda dari tampang gulai kambing yang biasa kita temui, berkuah santan warna kuning dan ditaburi irisan bawang goreng. Kepala ikannya disajikan dalam bentuk terbelah tiga sehingga bagian-bagian dalam kepala itu sudah tersaji tanpa perlu kita membongkarnya.

Wajah supnya lebih tak istimewa lagi. Berkuah bening kecoklatan dengan beberapa butir kacang merah mengapung di dalamnya. Terbayang rasa sup kacang merah yang agak-agak hambar dan tidak menjanjikan sensasi bagi lidah. ”Silakan kalau mau mencoba duluan,” kata teman saya yang asli Parepare itu.

Saya mulai meraih sendok, mengambil kuah sup itu, dan menyeruputnya pelan. Dan semua prasangka tadi pun runtuh.

Seperti lazimnya sup, kuah sup ini terasa segar dengan sedikit sentuhan rasa asam, tetapi tanpa kehilangan sensasi gurih dan aroma laut dari irisan-irisan kepala ikan di dalamnya. Aroma laut di sini tidak sama dengan bau amis ikan, tetapi lebih ke sensasi aroma khas sajian makanan laut yang merangsang perut untuk lapar.

Bahkan, saat irisan-irisan daging kepala ikan ini mulai disantap, sama sekali tak tercium aroma amis. Inilah keistimewaan kepala ikan yang disajikan Ulu Juku. Setelah saya mencoba menu-menu lain, bau amis itu tetap tak tersentuh hidung meski bagian-bagian terdalam kepala sudah dibongkar total.

Efeknya, gulai ikan yang saya pesan pun terasa bagaikan menyantap gulai kambing biasa, nikmat tanpa terganggu bau amis.

Makan kepala ikan di tempat ini pun tidak repot. Dengan kondisi kepala ikan yang sudah dibelah-belah, kita leluasa mengambil bagian-bagian empuk yang enak (termasuk tumpukan lemak ikan yang sehat dan bergizi tinggi) dari dalam kepala itu dengan sendok dan garpu tanpa harus menggunakan jurus tangan kosong. ”Memang kalau mau sensasi yang lebih, enaknya kita makan pakai tangan biar bisa tuntas mengorek setiap bagian kepala ikan,” ungkap teman saya itu.

”Pallumara”

Begitu melekatnya kesan pertama bersantap di Ulu Juku ini, saya pun kembali lagi dua hari kemudian. Kali ini dengan mengajak teman lain. Untuk memuaskan rasa penasaran, saya memesan menu yang belum dicicipi, yakni pallumara kepala ikan dan sate ikan.

Pallumara adalah sejenis masakan berkuah bening berwarna kuning. Rasanya seperti sup, tetapi lebih tajam rasa asamnya. ”Bumbu utamanya kunyit, cabai merah, dan sejenis biji berasa asam yang hanya ada di daerah Sulawesi Selatan,” tutur Nadjamuddin (36), salah satu pemilik jaringan rumah makan Ulu Juku.

Sate ikan adalah menu terbaru yang belum genap sebulan disajikan di rumah makan itu. Dalam kondisi siap saji, sate ikan tersebut tak bisa dibedakan wujudnya dari sate ayam. Irisan-irisan dagingnya padat berwarna coklat tua dengan dua pilihan bumbu, yakni kecap atau kacang. ”Saat dibakar, bumbunya cuma biji cabai merah dan kecap Bango,” tutur seorang koki yang sedang sibuk membakar puluhan sate.

Rasanya pun hampir tak bisa dibedakan dari sate ayam. Dagingnya padat, tidak seperti lazimnya daging ikan yang lunak dan mudah terurai. Nadjamuddin hanya menjawab dengan senyum saat ditanya apa resep membuat daging ikan menjadi padat seperti daging ayam dan tidak tercium bau amis ikan. ”Itu rahasia kami yang membuat beda dari rumah makan lain,” ujarnya.

Yang jelas, lanjut Nadjamuddin, seluruh masakan di Ulu Juku menggunakan bumbu-bumbu alami tanpa penyedap rasa buatan semacam MSG. Pihaknya juga menggunakan bahan kepala dan daging ikan kakap merah dan kakap putih segar meski ia kembali enggan mengungkapkan berapa jumlah kepala ikan yang dihabiskan dalam sehari. ”Yang jelas, sehari lebih dari 100 kilogram kepala ikan habis,” ungkapnya.

Calon guru

Sebersit pertanyaan terlintas saat melahap berbagai masakan kepala ikan di rumah makan Ulu Juku, ”Kalau yang dihidangkan kepalanya saja, dibawa ke mana daging ikan utuhnya?”

Bagaimanapun, ikan kakap merah dan kakap putih adalah jenis ikan yang dagingnya berharga tinggi. Jadi, sangat tidak mungkin daging-daging itu dibuang begitu saja.

”Kami memang cuma membeli kepala ikannya. Dagingnya juga beli, tetapi tidak banyak, sekadar untuk menu daging ikan goreng kentucky saja,” tutur Nadjamuddin.

Selain memesan ke tempat-tempat pelelangan ikan di Makassar, Ulu Juku mendapatkan kepala ikannya dari perusahaan eksportir daging ikan kakap. ”Yang diekspor kan dagingnya saja. Kepalanya jadi side product, jadi kami beli,” ungkap Nadjamuddin yang sehari-hari masih terlibat langsung menjaga meja kasir di RM Ulu Juku 2 di Jalan AP Pettarani, Makassar.

RM Ulu Juku pertama kali buka tahun 2005, didirikan empat orang, yakni Ahmad Hidayat, Rahmin Nurma, Nursida, dan Nadjamuddin sendiri. ”Kami sepakat mendirikan bisnis rumah makan sejak tahun 2000, waktu itu masih berupa warung bakso,” kenang Nadjamuddin.

Empat orang tersebut adalah para calon guru, alumni Universitas Hasanuddin dan IKIP Makassar. Nadjamuddin sendiri bergelar sarjana ilmu pendidikan dari IKIP Makassar (yang sekarang menjadi Universitas Negeri Makassar). ”Sejak kuliah, kami sudah mencoba-coba berbisnis makanan,” tuturnya.

Pada perkembangannya, mereka berempat tak puas dengan hanya menyajikan bakso. Mereka lalu memikirkan inovasi yang bisa dilakukan terhadap makanan khas Makassar, yang sebagian besar berbahan dasar ikan. ”Kami akhirnya memutuskan mengolah kepala ikan dengan resep kami sendiri,” kata Nadjamuddin.

Rumah makan pertama di Jalan Abdullah Daeng Sirua ternyata mendapat respons positif dari masyarakat Makassar. Setiap waktu makan siang, baik pada hari kerja maupun hari libur, rumah makan itu selalu penuh sesak.

Hingga akhirnya diputuskan untuk membuka cabang di Jalan AP Pettarani yang diberi nama RM Ulu Juku 2. ”Di sini kami hanya mengontrak. Sebentar lagi kami akan pindah ke bangunan milik sendiri di Jalan Racing Center Nomor 99A, Makassar,” tutur Nadjamuddin.

Menu kepala ikan di RM Ulu Juku pun menambah warna baru bagi kekayaan kuliner di Kota Angin Mamiri ini. (DHF)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com