Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mahkota Tubuh Tetap Aman

Kompas.com - 17/09/2009, 10:07 WIB

KOMPAS.com - Kalau bukan lantaran diare berkelanjutan, barangkali Ny Bintarti tidak akan pernah datang ke Rumah Sakit Kanker Dharmais khusus untuk memeriksakan dirinya. Tadinya, Bintarti khawatir terkena kanker usus. Saat itu memang terjadi perubahan fisik di payudaranya. Namun, karena tidak paham, tak terlintas di kepalanya soal kanker payudara.

Begitu dokter menyebut ada kanker di payudara kirinya, Bintarti langsung terduduk lemas.

Ketakutan meninggalkan anak-anaknya dan kekhawatiran kehilangan payudara berkelebat di benaknya. ”Kalau payudara saya hilang, bagaimana ya? Itu ibarat mahkota buat perempuan,” ujarnya.

Dia lalu menjalani operasi pengangkatan tumor dan seluruh payudara kiri. Kehilangan payudara dan menjalani serangkaian tindakan pascaoperasi membutuhkan energi tersendiri. Berbekal semangat hidup tinggi, kini 14 tahun sudah Bintarti bertahan dan aktif memberi semangat kepada penderita lain.

 Deteksi dini

Dr Walta Gautama SpB(K)Onk dari Divisi Bedah Tumor RS Kanker Dharmais dalam sosialisasi kanker payudara di RS Dharmais, pekan lalu, mengatakan, penderita kanker payudara adalah nomor dua terbanyak di Indonesia. Namun, dengan berkembangnya ilmu bedah, ada berbagai pilihan mengatasi kanker dan menyelamatkan payudara. Deteksi dini tetap menjadi kata kunci.

Hanya saja, deteksi dini pula yang kerap menjadi persoalan. Sebagai gambaran, berdasarkan data RS Kanker Dharmais, jumlah pasien kanker yang datang dalam stadium dini (stadium I dan II) sebesar 13,42 persen, stadium III sebesar 17 persen, dan terbesar stadium IV sebesar 29,98 persen. Pasien datang dengan kekambuhan, yakni sebesar 39,66 persen. ”Pasien yang kambuh umumnya karena terlambat ditangani atau penanganan tidak tuntas,” ujarnya.

Gejala awal kanker payudara dapat berupa benjolan yang biasanya dirasakan berbeda dari jaringan payudara di sekitarnya, tidak menimbulkan nyeri, dan biasanya memiliki pinggiran tidak teratur. Tanda lainnya yang mungkin timbul ialah benjolan di ketiak, perubahan ukuran atau bentuk payudara, keluar cairan abnormal dari puting susu, dan perubahan warna atau tekstur kulit pada payudara.

Takut operasi

Penyebab keterlambatan tersebut, menurut dr Walta, antara lain kekhawatiran harus menjalani pembedahan dan kehilangan payudara. Pembedahan masih menjadi momok. Pengetahuan yang kurang tentang operasi termasuk jenis operasi yang cocok, prosedur yang dilakukan dokter, dan kecemasan pasien karena tidak punya gambaran situasi yang akan ia hadapi setelah operasi menambah keengganan pasien.

Padahal, jika sedari dini dideteksi dan ditangani, pasien memiliki lebih banyak pilihan, termasuk mempertahankan payudara. Bahkan, untuk stadium lanjut yang mengharuskan pengangkatan payudara, masih ada peluang rekonstruksi payudara. Tentu saja, tergantung jenis dan ketepatan waktu operasi kanker.

Secara garis besar ada dua jenis operasi kanker payudara yaitu mastektomi dan breast conserving therapy (BCT).

BCT merupakan pembedahan mengangkat jaringan kanker sambil berusaha mempertahankan payudara, puting, dan aerola (bagian kecokelatan pada payudara). Pembedahan disertai pengangkatan kelenjar getah bening daerah ketiak dilanjutkan radio terapi.

Prosedur BCT biasanya cocok untuk kanker payudara dini, stadium 0-IIIA. Jika ukuran tumor tidak terlalu besar, dokter melakukan lumpektomi (mengangkat tumornya), setelah operasi ukuran payudara tidak berubah. Jika tumor agak besar, dilaksanakan kuadrantektomi (pengangkatan seperempat bagian payudara) sehingga setelah operasi ukuran payudara lebih kecil.

Prosedur lain ialah mastektomi, yakni mengangkat tumor seluruh jaringan payudara, puting, dan aerola. Mastektomi radikal pertama kali dilakukan Halsted tahun 1894 dengan teknik pengangkatan seluruh jaringan payudara, puting, otot dada, dan kelenjar getah bening di ketiak. Hasilnya secara kosmetik buruk sehingga prosedur itu mulai ditinggalkan. Terlebih lagi, penelitian membuktikan, dengan mastektomi radikal yang dimodifikasi (tanpa mengangkat otot dada mayor dan minor), angka korban selamat tak banyak beda.

Jika pasien ingin melakukan rekonstruksi payudara segera setelahnya masih dimungkinkan dengan skin sparing mastektomi. Pembedahan itu meminimalisir hilangnya kulit guna mempermudah rekonstruksi segera. Prosedur itu memungkinkan untuk stadium 0-stadium II.

Ada pula prosedur subcutaneus mastektomi, yaitu pengangkatan seluruh jaringan payudara dengan meminimalisir hilangnya kulit dan mempertahankan kompleks puting dan aerola. ”Pasien sering tidak puas dengan hasil rekonstruksi daerah puting dan aerola,” ujar dr Walta. Prosedur itu cocok untuk semua kanker payudara dini stadium 0-II. Syaratnya, puting dan aerola harus bebas tumor.

Untuk pengembalian rasa percaya diri , dapat ditempuh rekonstruksi menggunakan implan silikon atau jaringan yang diambil dari bagian tubuh lainnya, seperti Transverse Rectus Abdominis Muscle (TRAM) di daerah perut.

Paska menjalani mastektomi, dia tidak melakukan rekonstruksi. ”Untuk menutupi kekurangan, sudah ada penyedia pakaian dalam khusus bagi perempuan yang payudaranya diangkat. Penerimaan diri akan kondisi baru juga membantu memulihkan rasa percaya diri,” ujarnya bersemangat. (Indira Permanasari)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com