Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rustono, "King of Tempe" Jepang dari Grobogan

Kompas.com - 21/02/2010, 20:09 WIB

Tahun 1997, setelah enam tahun bekerja di Hotel Sahid Yogyakarta, perubahan jalan hidup mulai menunjukkan arahnya. Ketika sebuah grup wisatawan Jepang berkunjung ke Yogya, seorang bidadari dari Negeri Matahari Terbit, Tsuruko Kuzumoto, yang tinggi semampai berkulit kuning langsat menambat hati Rustono. Dan rupanya dia tidak bertepuk sebelah tangan. Tahun itu juga berangkatlah Rustono menyusul ke Jepang dan mulai menempuh hidup barunya di Kyoto.

Berbagai pekerjaan pernah dia lakukan. Dari bekerja di perusahaan roti sampai ke perusahaan sayur-mayur. Di situ Rustono banyak memerhatikan etos kerja karyawan Jepang. Selain penuh tanggung jawab, mereka juga berupaya mencapai target dan ikut serta dalam menjaga kualitas produksi. Pun Pemerintah Jepang sangat teliti dengan secara periodik memeriksa kualitas produksi, meninjau perusahaan, sampai memerhatikan kebersihan ruangan, termasuk peralatan dan meja kerja.

Menurut pengamatan Rustono, makanan adalah kebutuhan paling pokok kehidupan manusia. Itu sebabnya mengapa segala bentuk makanan diproduksi di Jepang dan industrinya sangat maju. Terbetik dalam pikiran Rustono, kenapa tidak mencoba membuka usaha makanan yang belum ada di Jepang. Inspirasinya datang setelah mengenal nato, sebangsa makanan dari kedelai yang rasanya sangat khas untuk lidah Jepang.

Jadilah dia mencoba membuat tempe dengan sedikit pengetahuan yang pernah dia kenal. Selama empat bulan dia berkutat mencoba membuat tempe, dengan ragi dari Indonesia dan kedelai Jepang, tetapi selalu gagal. Hingga kemudian dengan menggunakan air dari sumber mata air di kediaman mertua, dia berhasil membuat tempe.

Perjalanan panjang

Jalan untuk mencapai keberhasilan usaha yang dia tempuh sangatlah panjang dan terjal. Meskipun berhasil dalam percobaan membuat tempe, dia belum yakin benar. Pastilah itu bukan hanya karena menggunakan air asli dari mata air langsung.

Setelah anak pertamanya, Noemi Kuzumoto, berusia tiga tahun, dengan izin istrinya Rustono kembali ke Indonesia selama tiga bulan untuk belajar membuat tempe kepada 60 perajin tempe di seluruh Jawa.

Beberapa perajin memang ada yang tidak sepenuhnya memberi rahasia pembuatan tempe, tetapi banyak hal yang bisa dia serap dari pengalaman para perajin tempe di Jawa Tengah. Misalnya, kenapa tempe bisa lebih terasa gurih, bagaimana hasilnya tempe yang dibungkus dengan daun bambu atau daun pisang, ataupun dengan plastik, dan bagaimana bisa menghasilkan fermentasi tempe dengan baik.

Yang kemudian tak kalah berat adalah memperoleh izin produksi di Jepang. Dia harus melalui penelitian dan tes di laboratorium, hingga harus memenuhi kesanggupan bertanggung jawab atas kualitas dan kandungan bahan produksi sesuai dengan yang tertera di kemasan bahwa kandungan gizi tempe kedelai setara dan kandungan gizi daging, termasuk mematuhi peraturan daur ulang kemasan.

Kendala cukup berat yang juga dapat dia lalui adalah soal menghadapi iklim alam di Jepang. Fermentasi tempe hanya bisa berhasil dalam cuaca kelembaban 60 persen hingga 90 persen, yang tentu saja tidak masalah di Indonesia. Di Jepang yang mempunyai empat musim, mempunyai kelembaban udara yang dibutuhkan tempe hanya pada musim panas. Tetapi, lewat penelitian kecil-kecilan dan telaten, hasilnya sangat besar. Dia bisa mengatur kelembaban pada segala musim di dalam ruangan produksi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com