Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Komunitas Single Parent: Saling Dukung

Kompas.com - 23/02/2010, 17:07 WIB

KOMPAS.com - Tiga tahun lalu, Titi Atmojo harus menghadapi sesuatu yang tak pernah ia sangka-sangka akan ia jalani dalam kehidupannya, perceraian. Titi yang saat itu sudah dikaruniai seorang anak perempuan kemudian tersadar, permasalahan perceraian tak lantas usai setelah palu di Pengadilan Agama diketuk. Dengan trauma pascaperceraian dan peran barunya sebagai orangtua tunggal, titi pun mulai mencari dukungan moral dari orang-orang terdekatnya.

Seorang teman blogger, Cahyo Dwi, lalu mencetuskan ide untuk membuat milis (mailing list) khusus bagi orangtua tunggal. Berdua, mereka membidani lahirnya milis indosingleparent@yahoogroups.com dan blog di indosingleparent.blogspot.com. Saat ini, milis  yang lahir pada bulan November 2007 tersebut sudah memiliki lebih dari 600 anggota yang tersebar di seluruh Indonesia, beberapa bahkan bertempat tinggal di luar negeri, seperti Singapura dan Yunani.

"Ide awalnya ingin membantu orang-orang dengan status single parent, apapun latar belakangnya. Baik itu bercerai atau karena mereka memilih untuk tidak menikah," sebut Titi. Dalam perkembangannya, mayoritas anggota milis adalah single mom akibat perceraian.

Pada awalnya, komunikasi antar anggota hanya terjadi di dunia maya, meski setiap tiga atau empat bulan sekali, pengurus menjadwalkan kopdar, alias kopi darat sesama anggota. Tapi sekarang, menurut Cahyo, kumpul-kumpul bisa saja terjadi seminggu sekali.

"Kami selalu mendorong para anggota untuk saling berteman. Beberapa mungkin masih merasa trauma karena perceraian. Kalau ada orang yang memiliki masalah sama, biasanya mereka lebih nyaman berteman," sambung Titi sambil menyebut pertemanan itulah yang membantu proses penyembuhan trauma berjalan lebih cepat.

Uniknya, meskipun namanya komunitas single parent, anggota aktifnya tak hanya orangtua tunggal saja. Ada anggota yang berasal dari keluarga baik-baik namun memiliki rasa empati tinggi terhadap para orangtua tunggal. Ada pula anak-anak korban perceraian yang turut menjadi anggota. Menariknya lagi, dalam milis ini juga ada konselor yang siap membantu permasalahan anggota-anggotanya.

"Kebetulan ada anggota yang memiliki pengalaman konseling. Biasanya lewat email, tapi kalau memang mendesak bisa ketemuan. Gratis!" tambah Titi.

Kalaupun tak butuh konselor, biasanya orang akan lebih lega setelah bisa mengeluarkan unek-uneknya. Untuk alasan itulah, Titi menyebut milis mereka siap menjadi "tempat sampah" bagi para anggota yang mau berkeluh kesah.

"Ada beberapa orang yang tidak nyaman menceritakan masalah mereka dengan teman atau keluarga yang tidak punya pengalaman perceraian. Kalau di milis, hampir semuanya pernah mengalami. Kami saling memberi feedback, sehingga orang itu merasa lega," terangnya.

Saling Membantu
Para anggota milis ini pun merasa sangat terbantu. Rara dan Chandra, misalnya. Dua wanita yang merupakan anggota awal milis ini mengaku menemukan keluarga baru lewat milis tersebut.

"Yang penting adalah, kami menunjukkan kepada pada orang-orang yang baru mengalami perceraian bahwa mereka tidak sendiri. Banyak yang mengalami emosi serupa setelah berpisah, mari saling mendukung," tukas Chandra.

Apalagi, pembahasan dalam milis juga tak melulu menyoal perceraian semata. Banyak juga yang membuka percakapan tentang tumbuh kembang anak, secara fisik maupun psikologis. Maklum, anak dari single parent masih sering menerima perlakuan buruk atau olok-olok dari teman-teman sebaya.

"Seperti pembahasan-pembahasan di milis keluarga biasa. Bedanya, keluarga di sini hanya ada satu orangtua, bukannya sepasang," imbuh Rara.

Karena itu jugalah, pembahasan lain yang paling sering muncul di milis adalah tentang cara-cara menambah pemasukan. Chandra yang kini bertugas sebagai moderator kerap dimintai saran soal keuangan dan pajak.

Begitulah, berkat milis ini, para orangtua tunggal tak lagi merasa sendiri. Walah begitu, Cahyo menolak jika komunitas yang dibentuknya ini disebut sebagai wadah properceraian. Tujuan utama milis ini, menurutnya adalah untuk saling menguatkan anggota saat mereka mengalami trauma akibat perceraian.

"Kami tidak mendukung perpisahan, karena bagaimanapun juga, jika perceraian terjadi, anak yang jadi korban," tutupnya.

(Astudestra Ajengratri/Tabloid Nova)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com