Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ratih Soe: "Last Tango" in Kebaya

Kompas.com - 04/04/2010, 23:06 WIB

Dengan tango, Ratih merasa bisa mengendalikan ego dan menciptakan harmoni dengan pasangan. Dalam tango, laki-laki memimpin gerakan, sementara perempuan mengikutinya. ”Meskipun kita sudah mahir, perempuan tidak boleh mendahului gerakan laki-laki. Sementara laki-laki harus bisa mengarahkan gerakan pasangannya sehingga penari menjadi kompak.”

Filosofi tango diterjemahkan Ratih dalam kehidupan rumah tangganya bersama Dr Alexander Kecil Kosasie (55) atau Kecil yang juga mahir bertango. Ego manusia, kata Ratih, menuntut pemenuhan yang tidak akan pernah selesai. Bila manusia mampu mengendalikan ego, ia akan tahu kapan harus berhenti dan kapan harus berjalan terus. Ratih sering bertango dengan suaminya. ”Dengan tango, kami memelihara keterhubungan kami,” tutur Ratih.

Demi tango, Ratih menyulap salah satu ruangan di rumahnya untuk studio tango. Ia juga rajin berguru tango pada maestro tango yang datang ke Indonesia atau ke beberapa negara di Asia. Ia juga banyak membaca buku-buku tentang tango.

Selain tampil di Jakarta, Ratih sering diundang bertango di Surabaya, Denpasar, sampai Kuala Lumpur. Namun, Ratih tidak punya keinginan untuk menjadi penari tango profesional.

Wis tuwek. Wis gak kuat tenagane (Sudah tua, sudah tidak kuat tenaganya).”

Mandi di Pulogadung
Tango, katanya, tarian kehidupan. Dan dengarlah Ratih bercerita tentang ”tarian” kehidupannya menuju gemerlap dunia model di Jakarta.

Ia pertama kali ikut peragaan busana ketika kakaknya menyelenggarakan acara peragaan busana di Surabaya. Waktu itu Ratih masih kelas III SMA. Rupanya, keluwesan dan kecantikan Ratih dilirik banyak orang. Ia pun diajak bergabung dengan agen model di Surabaya milik Lisa Gunawan.

Sejak itu, ia mendapat banyak tawaran tampil sebagai peragawati sekaligus menjadi model pemotretan di Jakarta. Ketika itu Ratih sedang mengenyam pendidikan Administrasi Niaga di Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur,
tahun 1981. Suatu kali ia ke Jakarta naik bus malam dan turun di Terminal Pulogadung, Jakarta Timur.

”Saya mandi di kamar mandi umum di Terminal Pulogadung. Lantainya brongkal-brongkal (rusak, pecah-pecah), bak mandinya lumutan, tetapi airnya sueger, mak nyesss,” kata Ratih mengenang masa tiga dekade silam.

Sejak itu, bila datang ke Jakarta dengan bus malam, Ratih selalu mandi di kamar mandi umum tanpa atap di Terminal Pulogadung. ”Kamar mandinya ada di bawah pohon. Waktu mandi kadang-kadang ada daun yang berjatuhan ke badan. Wis pokoke gak bakalan lali, tidak akan terlupakan.”

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com