Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kiswanti: Berbekal Sabar dan Pintar, Bagian I

Kompas.com - 08/11/2010, 17:57 WIB

KOMPAS.com - Kesabaran dan kepintaran yang didapat dari membaca buku menjadi bekal Kiswanti (47), dalam menjalani kehidupan yang sarat kemiskinan dan penolakan, sejak usia belia. Perempuan lulusan Sekolah Dasar (SD) ini dinobatkan sebagai "Pahlawan Pustaka" dari ajang penghargaan untuk masyarakat, yang hidup dengan penuh semangat untuk memberdayakan dirinya dan orang lain.

Kiswanti adalah pendiri taman bacaan masyarakat Warabal atau Warung Baca Lebak Wangi, berlokasi di Jalan Kamboja No 71 , Parung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Taman bacaan adalah salah satu mimpi dan cita-cita yang selalu menguasai pikiran dan hatinya.

"Sejak lama saya sudah berkeinginan memiliki perpustakaan gratis dan sekolah gratis. Saat ini baru taman bacaan saja yang terwujud," papar Kiswanti kepada Kompas Female menjelang penyerahan anugerah Danamon Award 2010, di Jakarta, Rabu (3/11/2010) lalu.  

Perempuan yang terpilih sebagai satu dari tiga peraih Danamon Award 2010 Terfavorit ini, mengaku cita-cita memiliki taman baca sejak kelas 4 SD. Koleksi buku milik Kiswanti, yang mulai dikumpulkan sejak kecil hingga kini, berjumlah 7.515 eksemplar.

Tak hanya itu, taman baca miliknya juga menyediakan sejumlah program pendidikan dan keterampilan tanpa biaya. Seperti bimbingan belajar untuk siswa SD, SMP, SMA -khususnya untuk pelajaran matematika dan fisika, pendidikan anak usia dini (PAUD), kursus komputer, bahasa Inggris, menari, mengaji, menjahit, dan menyulam bagi orang tua. Kegiatan ini menarik simpati sekitar 16 relawan yang terdiri atas ibu rumah tangga, mahasiswa, maupun berbagai profesi seperti dosen yang dengan sukarela berkontribusi.

Warabal merupakan salah satu pencapaian Kiswanti atas kerja kerasnya memperjuangkan pendidikan. Taman bacaan mewakili semangat istri seorang buruh ini untuk memberi kesempatan kepada anak-anak untuk menikmati pendidikan. Pengalaman pahit masa kecil, yang membuatnya harus mengubur mimpi sekolah tinggi, tak lantas membuatnya terpuruk. Warabal dan penghargaan atas upayanya mendirikan taman baca adalah bukti nyata semangat hidupnya.

"Saya bersyukur punya pengalaman pahit sejak kecil, artinya saya diberikan kekuatan dari kecil. Dari pengalaman ini, saya enggak mau terpuruk dengan ketidakberadaan. Saya merasa bisa melewati semua kesulitan. Saya belajar dari membaca buku, banyak tahu dari buku. Seseorang tidak dilihat dari fisik, tetapi dilihat dari pola pikirnya. Pesan bapak, hanya sabar dan pintar yang akan menyelamatkan saya. Benar saja, pesan bapak terbukti, kini saya merasakan itu," tutur Kiswanti, menggambarkan semangat hidup yang muncul sedari kecil karena bimbingan ayahnya.

Bertumbuh karena buku
Sejak duduk di bangku SD, Kiswanti menulari kebiasaan membaca dari ayahnya, Trisno Suwarno. Trisno adalah ayah tiri Kiswanti yang selalu memberinya semangat hidup dan membekalinya dengan berbagai jenis bacaan.

Kiswanti menyadari betul, orangtuanya tak mampu membiayai sekolah kelima anaknya. Ayahnya hanyalah seorang petani gurem dan penarik becak. Kiswanti, si sulung (anak dari pernikahan ibunya yang pertama), dengan keempat adik (dari pernikahan ibunya dengan Trisno), hanya lulus SD. Kemiskinan membuat keluarga sederhana ini tak bisa menikmati pendidikan. Meski sang ibu, Tumirah, juga turut berkontribusi menambah penghasilan keluarga menjadi seorang penjual jamu gendong.

Adalah kreativitas Trisno menyiasati ketiadaan biaya ini, yang telah menyelamatkan Kiswanti. Perempuan kelahiran Desa Ngidikan, Bantul, 4 Desember 1963 ini tetap terhibur dengan koran, majalah, buku yang dibawa pulang bapaknya seusai bekerja. Setidaknya, bacaan ini mengobati kesedihan hati Kiswanti kecil yang tak mampu membayar iuran perpustakaan sebesar Rp 250.

"Sangat sulit bagi kami untuk bersekolah, apalagi membayar iuran perpustakaan kala itu," kata Kiswanti yang lulus SD pada tahun 1980.

Mengakali kemiskinan, Trisno meminta Kiswanti tak melanjutkan sekolah. Kemudian, Trisno mengajak Kiswanti yang lulus dengan nilai sempurna, untuk belajar di rumah dengan buku.

"Bapak minta maaf tidak bisa menyekolahkan saya. Bapak juga bilang, kalau mau pinter banyak baca buku," kisahnya menjelaskan bagaimana orangtuanya tak menyanggupi biaya sekolah lanjutan.

Beruntung, Trisno adalah tamatan sekolah rakyat yang bisa baca tulis. Trisno mengambil alih peran sekolah dengan mengajarkan Kiswanti dengan caranya yang unik.

Buku pelajaran SMP, SMA, majalah, dan surat kabar adalah pemberian rutin dari Trisno kepada Kiswanti. Meski tak sekolah, Kiswanti rajin membaca pelajaran setingkat SMP-SMA. Jika tak mengerti, ia bertanya kepada tetangganya yang berprofesi sebagai guru. Karena kecerdasan otaknya menangkap ilmu, Kiswanti seringkali menjadi tempat bertanya teman seusianya yang melanjutkan sekolah.

"Bapak yang mencontohkan kebiasaan membaca. Pernah bapak bilang, tak perlu ke keraton Solo untuk tahu seperti apa sejarahnya. Bapak bercerita tentang keraton Solo dari buku. Suatu saat, bapak mengajak saya ke keraton Solo. Apa yang diceritakan bapak saya lihat semuanya. Saya banyak tahu tentang banyak hal dari buku," tuturnya.

Pahlawan Pustaka, sebuah gelar yang dinobatkan kepadanya setelah dewasa, adalah buah manis dari pendidikan rumahan Trisno, ayahnya. Kegemaran Trisno bercerita tokoh dan kisah perwayangan, membekas di benak Kiswanti hingga kini. Cara Trisno mengajak Kiswanti tetap menjaga semangat belajar juga masih terekam jelas.

"Yang menjengkelkan saat kecil, saat teman saya bersekolah, bapak menghibur saya dengan puzzle. Bapak menggunting gambar atau huruf dari koran, majalah, lalu dimintanya saya menyusun gambar tersebut. Nakalnya bapak, sebagian gambar disembunyikan di pecinya. Inilah yang juga dilakukan bapak jika saya mengganggu ibu yang sedang menumbuk jamu. Meski kesal karena gambar seringkali disembunyikan, dengan cara inilah, bapak mengajarkan saya baca tulis," kisahnya.

Kecintaan Kiswanti terhadap buku semakin menjadi selepas dari SD. Ia kerapkali membeli buku di bazar yang digelar sepanjang hari selama sebulan pada peringatan Sekaten atau Maulid Nabi. Buku bukan satu-satunya yang menarik perhatian Kiswanti. Melihat, banyak warga di kampungnya "sukses" pulang kampung dengan penampilan perlente. Ia pun hijrah ke Jakarta untuk menjadi pekerja rumah tangga pada 1987.

Naik jabatan karena buku
Menjadi rewang (PRT) adalah tugas yang disanggupi Kiswanti. Ia tahu caranya menyapu, meski belum mahir mengepel, karena rumahnya di Bantul hanya beralaskan tanah. Melihat begitu banyak buku di rumah majikan, yang adalah warna negara Filipina, Kiswanti semakin betah. Ia bahkan hanya minta digaji dengan buku.

"Sebagian koleksi buku tuan saya, adalah buku yang saya inginkan. Saya minta digaji buku dan dikasih ongkos pulang kampung saja," katanya.

Meski pada awalnya sang majikan marah dan curiga, setelah Kiswanti menjelaskan dirinya, ia justru naik pangkat. Tugasnya kini bukan lagi PRT tetapi babysitter. Kiswanti diminta menemani anaknya belajar matematika dan bahasa Indonesia. Kiswanti pun menjadi paham tempat belanja buku murah di Kwitang, kawasan Senen Jakarta Pusat. Sang majikan lah yang membukanya jalan menuju surga belanja ala Kiswanti.

Koleksi buku lulusan SD yang berprofesi sebagai PRT dan babysitter ini berjumlah 1.500 buah hingga tahun 1987. Kiswanti memutuskan kembali ke Bantul. Namun nasib berkehendak lain. Kiswanti menerima tawaran Ngatimin untuk menikahinya.

"Pria ini adalah orang ke-19 yang mengajak saya menikah, dan saya terima," aku Kiswanti yang menikah pada usia 26 tahun pada Agustus 1987. (Bersambung)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com