Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Minim, Sosialisasi Pengaduan Kasus Malapraktik

Kompas.com - 21/05/2011, 05:34 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) mengakui, sosialiasasi mengenai mekanisme pengaduan kasus malapraktik di Indonesia masih sangat minim.  Masih banyak masyarakat yang belum mengetahui bagaimana dan kemana mereka harus melapor ketika menjadi korban malapraktik.

"Kadang-kadang masyarakat tidak tahu mau dibawa mana itu kasus," kata Wakil Ketua MKDKI Sabir Alwy dalam acara temu media bertema 'Mekanisme dan penanganan pengaduan dugaan malpraktik' di Kantor Kementerian Kesehatan, Jakarta, Jumat, (20/5/2011).

MKDKI, terang Alwy, adalah suatu lembaga yang mengawasi praktik kedokteran agar sesuai standar pelayanan, standar profesi dan standar operasional prosedur. MKDKI juga mempunyai wewenang seperti menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran serta menetapkan sanksi terkait dugaan kasus malapraktik.

Menurut Alwy, sosialisasi MKDKI kepada masyarakat selama ini masih kurang karena keterbatasan waktu, anggaran dan sumber daya manusia. "Karena kita tetap merupakan suatu lembaga yang bergantung keuangannya kepada negara. Inilah semua yang menyebabkan MKDKI belum maksimal. Tapi kita akan berusaha semaksimal mungkin. Peran media juga bisa membantu MKDKI dalam proses sosialisasi terhadap masyarakat," bebernya.

Mengacu pada pasal 64 Undang-Undang Praktik Kedokteran, MKDKI mempunyai dua tugas utama. Pertama, menerima pengaduan, pemeriksaan dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi yang diajukan. Kedua, menyusun pedoman dan tata cara penanganan kasus pelanggaran disiplin dokter atau dokter gigi.

"Pintu-pintu ini sudah disediakan oleh negara. Silahkan disampaikan kepada masyarakat, kalau memang ada keluhan-keluhan. Dan nantinya terserah masyarakat maunya ke mana," tegasnya.

Dalam proses penanganan pelanggaran disiplin kedokteran, jelas Alwy, ada dua tahap yang harus dilalui yakni, tahap awal berupa penerimaan pengaduan dari masyarakat, pemeriksaan oleh pimpinan MKDKI dan pembentukan MPD (Majelis Pemeriksa Disiplin).

Setelah itu, tahap berikutnya adalah pelaksanaan dua kali sidang yakni sidang Majelis Pemeriksa Disiplin (MPD) yang dilakukan secara tertutup, dan sidang pembacaan amar keputusan MPD yang dilakukan secara terbuka.

Sidang MPD yang dilakukan secara tertutup, terang Alwy, seringkali menimbulkan kecurigaan dari masyarakat akan terjadinya kecurangan.  Tetapi sesuai dengan Undang-Undang Praktik kedokteran, sidang harus dilakukan tertutup karena berkaitan dengan rahasia kesehatan seseorang.

"Kita punya alasan yang jelas, karena bagaimana pun juga sidang MKDKI itu akan berbicara tentang rahasia terhadap kesehatan seseorang. Oleh sebab itu, kita tidak serta merta bisa begitu saja membuka," jelasnya.

Berdasarkan data MKDKI, jumlah pengaduan masyarakat terkait pelanggaran disiplin kedokteran sejak 2006 sampai Maret 2011 mencapai 127 pengaduan. Dari jumlah tersebut, 42 di antaranya sudah diselesaikan, 35 kasus masih diproses, 27 kasus dicabut dan 23 lainnya dinilai bukan bagian kewenangan MKDKI. Dari  kasus yang sudah diputuskan, menurut Alwy sebanyak 50 persen terbukti ada pelanggaran.

Pada dokter yang ditetapkan bersalah, dan melakukan pelanggaran praktik kedokteran, lanjutnya, biasanya akan dikenakan sanksi mulai dari peringatan tertulis, rekomendasi pencabutan STR atau SIP dan mengikuti pendidikan/ pelatihan ulang.

Alwy juga menegaskan, MKDKI bukanlah lembaga berwenang untuk membawa kasus pelanggaran disiplin kedokteran masuk ke ranah hukum. Fungsi  MKDKI menurut Alwy lebih pada penegakan disiplin.

"Karena kami diberi kewenangan dalam penegakan disiplin saja. Ada mekanisme tersendiri yang dilakukan oleh peraturan-peraturan yang berkaitan dengan penengakan hukum," pungkasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com