Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Zoya Amirin: Seks yang Tidak Cabul

Kompas.com - 04/10/2011, 08:45 WIB

KOMPAS.com - Zoya Dianaesthika Amirin (36). Cantik, atraktif, namun kerap berada di tengah pusaran kontroversi. Itulah ”buah” yang dipetik gara-gara keberanian perempuan berdarah Jawa-Manado-Belanda ini memilih berkarier menjadi psikolog seksual.

Kenapa memilih menjadi seksolog, Zoya? Pilihan karier itu kerap membuat dirinya dicemooh, bahkan dilecehkan lelaki berpikiran kotor. Akan tetapi, ia malah semakin yakin, menjadi psikolog seksual adalah jalan hidupnya.

”Di Indonesia hanya dua pemahaman tentang seks, yaitu dipahami sebagai sesuatu yang tabu atau malah dipahami sebagai olok-olokan yang boleh dipercakapkan secara vulgar, sensasional, cabul,” ujar Zoya mengawali obrolan kami tentang seksologi. Kami juga bicara tentang mimpi-mimpinya.

Setiap hari, dan hampir setiap jam dalam sehari, Zoya selalu bicara seks, seks, dan seks. Tentu saja cara Zoya mendiskusikan seks tidak vulgar, tidak cabul, juga tidak terbelenggu tabu. Zoya membicarakan seks selayaknya.

”Sekarang, aku kerap memberikan pendidikan seks kepada perempuan penyandang cacat. Kita terkadang lupa memberikan pengetahuan seks kepada mereka. Padahal, itu penting untuk mencegah mereka dimanfaatkan orang lain, menjadi korban pelecehan seksual atau pemerkosaan. Mereka harus tahu bahwa cinta tidak sama dengan seks, membangkitkan kesadaran mereka bahwa mereka pun berhak dicintai,” ujar salah satu Most Inspiring Women 2009 versi Yves Saint Laurent itu.

Sejak remaja, satu-satunya anak perempuan dari tiga bersaudara itu sudah kerap diajak mendiskusikan seks oleh sang mama, Sylvia Rauw. ”Dengan mama, aku bisa mengomunikasikan segalanya, pacaranku, my first kiss. Segalanya pasti lapor sama mama,” kata Zoya.

Namun, ia seperti tersambar petir ketika tahu, di luar lingkungan keluarganya, orang jengah mendiskusikan seks, juga dengan segala mitos yang bias jender. ”Banyak mitos menyesatkan. Perempuan yang tidak kunjung hamil disuruh makan kecambah. Body piercing pada alat genital pria dianggap memuaskan wanita. Karena mitos orang lantas bercerai, karena mitos orang lalu terkena penyakit, karena mitos orang pergi ke Mak Erot,” ujar dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia ini.

Ketika Zoya bertanya kepada ibunya, sang ibu malah mendorong Zoya mencari sendiri jawabannya. Oleh karena itu, sejak menjadi mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Indonesia angkatan 1997, ia senantiasa terarah mencari jawaban tentang serba-serbi perilaku seks. Ketekunan itu membuatnya didapuk Prof Dr Sarlito Wirawan Sarwono menjadi asisten pengajar mata kuliah Perilaku Seksual pada tahun 2000.

Membeli kondom
Pesona Zoya serta materi yang menggelitik membuat mata kuliah pilihan yang waktunya dimulai pukul 13.00 itu selalu penuh sesak, sampai harus menolak peminat.

”Terkenal (di kampus) gara-gara tugas pertama saya pada mata kuliah itu adalah membeli kondom,” kata Zoya.

”Mahasiswa berebutan ikut mata kuliah itu. Dan, itu berarti bagi saya. Saya bahagia jika informasi saya mengubah cara pandang tentang seks. Salah satu komentar mahasiswa yang saya ingat, ’Gila, ya, saya tidak pernah lupa kuliahnya Mbak Zoya. Rasanya seperti tersambar petir.’ Ha-ha-ha-ha,” Zoya tertawa mengenang.

Tahun 2002, Prof Sarlito ”menceburkannya” menjadi narasumber soal mitos dan seks dalam sebuah bincang-bincang di televisi swasta. Sejak itu pula, Zoya berada di tengah pusaran kontroversi isu seksualitas di Indonesia. Kendati begitu, ia justru mengukuhkan pilihan kariernya setelah menyelesaikan sertifikasi seksologi di Universitas Udayana, Bali.

”Tanpa Prof Sarlito, Prof Dr dr Wimpie Pangkahila dari Universitas Udayana, dan dr Pramudya dari Rumah Sakit Angkatan Laut dr Mintohardjo, karier saya tidak akan secepat ini,” ujar perempuan yang terlahir pada 7 September 1975 itu.

Orang yang hanya mengenal namanya kerap tak percaya bahwa putri pasangan Amirin Amfra dan Sylvia Rauw itu seorang psikolog, apalagi seorang seksolog. ”Calon klien justru lebih percaya staf saya adalah psikolog dan seksolog. Orang masih membayangkan bahwa seorang psikolog itu harus tua, bertampang serius, berkacamata, tidak fashionable,” katanya disambung tawa lepas.

”Kebalikannya, orang yang sudah mengenal saya malah selalu menuntut saya menjadi psikolog dan seksolog sempurna. Padahal, saya terkadang juga ingin curhat, sekadar didengar, berhenti berbicara tentang seks,” ungkap Zoya yang mengaku kerap stres dengan kemacetan Jakarta.

”Sex capital”
Ya, Zoya tetaplah seorang Zoya. Ia memang seperti tak pernah kehabisan energi untuk membuat petir yang menyambar pikiran sesat orang tentang seks. Namun, ia juga ingin sesekali melepaskan diri dari segala urusan konseling. Saat lari dari urusan kerjanya, Zoya pergi jalan-jalan bersama sahabatnya, menonton film, makan es krim, ngobrol remeh-temeh, menonton teater, berbelanja bulu mata, atau sekadar memborong tas aneka warna hingga sepatu high heels. Kala suasana hatinya buruk, Zoya akan mencari-cari sebatang cokelat di tasnya, lalu mengulumnya sebagai penawar kegalauan.

Ya, Zoya yang psikolog itu tetaplah seorang perempuan yang khawatir tak terlihat semampai jika tinggi tubuhnya yang 165 cm itu tak disangga sepatu high heels minimal 7 cm. Tak beda dengan perempuan lain, Zoya pun merasa tak aman jika tak membawa tas dengan beragam isi yang sebagian besar jarang terpakai. Dan, menjaga penampilan mampu membuat hatinya tenteram. ”Tapi, jangan salah, aku berdandan untuk kepuasanku sendiri, lho. Aku malah lebih puas dipuji cantik oleh sesama perempuan daripada dipuji oleh lelaki,” cetusnya.

Jangan salah juga, ”petir Zoya” tak pernah berdiam di zona nyamannya. Zoya memimpikan bersekolah lagi, mengambil program doktor di Indiana University, Amerika Serikat, salah satu perguruan tinggi babon dalam ilmu psikologi seksual. ”Aku sudah punya rencana disertasiku, menghitung sex capital orang Indonesia,” katanya mantap.

Aduh, membahas seks dengan Zoya selalu serasa disambar petir. Sex capital itu wacana apa lagi, ya? ”Ha-ha-ha, ya, mirip-mirip ecological capital atau economic capital, lah,” ujarnya tersenyum.

Wah, Zoya tak pernah kehabisan cerita, tak pernah kehabisan gagasan dan sambaran petirnya.

Zoya Dianaesthika Amirin
Website: www.zoyaamirin.com
Lahir: Jakarta, 7 September 1975
Profesi: Psikolog

Pekerjaan:
- Pengajar Fakultas Kesehatan Masyarakat, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
- Pengajar tamu PTIK dan Universitas Pancasila
- Direktur PT Sinergi Daya Insani

Pendidikan:
- Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, 1997-2002
- Psikologi Klinis (master), 2003-2005

Pengalaman:
- Pendidikan intensif Seksologi, Universitas Udayana, Bali, Januari 2004
- Konseling Post Traumatic Stress (Februari 2005)
- Hypnotherapy Basic-Intermediate (Mei, 2005)
- Transpersonal Group Therapy (Februari 2006)
- Konseling Masalah Seksual (Februari 2006)
- Integrasi alat test psikologi advance (April 2008)
- Pendidikan Intensif Seksologi-lanjut (Universitas Udayana, Februari 2010)
- Human sexuality short course (hak gay dan lesbian), San Francisco State University (December 2010)

(Aryo Wisanggeni G/Sarie Febriane)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com