Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hak Kaum Miskin Kota Terabaikan

Kompas.com - 12/12/2011, 05:10 WIB

JAKARTA, KOMPAS - Banyak warga miskin Kota Jakarta yang tidak terjangkau sistem pemenuhan hak ekonomi yang diselenggarakan pemerintah. Untuk bertahan hidup, mereka terpaksa mencari ruang-ruang hidup yang tidak layak dan acap kali berbenturan dengan hukum.

Hak ekonomi, sosial, dan budaya ditetapkan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Hak tersebut, antara lain, hak atas pangan, sandang, perumahan, kesehatan, pekerjaan, dan pendidikan. Pemerintah Indonesia telah meratifikasinya pada tahun 2005 sehingga terikat untuk menjalankan pemenuhan atas hak-hak tersebut. Hari Hak Asasi Manusia Sedunia diperingati serentak pada Sabtu (10/12).

Dari pemantauan di ibu kota Jakarta sepekan ini, masih dijumpai penduduk miskin yang belum mendapatkan pemenuhan atas hak-hak itu. Situasi ini menjadi persoalan yang berkelindan merajut permasalahan kemiskinan kota yang akut.

Persoalan paling kasatmata menyangkut hak mendapatkan papan yang layak. Masih banyak warga miskin kota yang mendiami gubuk-gubuk liar di bantaran rel, bantaran sungai, dan kolong jembatan. Tidak sedikit pula yang tinggal di rumah kontrakan liar. Pendapatan yang pas-pasan tak cukup untuk sekadar mengontrak kamar, apalagi membeli rumah.

”Kalau tidak di bantaran kali sini, mau tinggal di mana lagi. Saya tak punya uang. Buat makan saja sudah susah,” kata Inem (56), pemulung plastik bekas yang hidup sebatang kara di bantaran Kali Ciliwung.

Selain kondisi lingkungan yang tidak sehat, tinggal di kawasan liar juga sangat berisiko. Tahun lalu, misalnya, seorang anak dari keluarga penghuni kolong Jembatan Karet Bivak di Jakarta Pusat tewas tertabrak kereta api.

Banyak warga miskin kota yang juga tidak memiliki kartu tanda penduduk (KTP) Jakarta sehingga luput dari pelbagai pelayanan program pemerintah, seperti kesehatan, pendidikan gratis, jatah beras miskin, dan bantuan langsung tunai.

Hal itu, umpamanya, dialami Suwarti (40) dan sekitar 300 warga di permukiman pemulung, pengemis, dan pengamen di Kampung Purebali RT 12 RW 14, Kelurahan Rawamangun, Kecamatan Pulo Gadung, Jakarta Timur. Padahal, Suwarti hampir 20 tahun tinggal di Jakarta.

Pekerjaan adalah masalah yang paling banyak mereka keluhkan. Kaum miskin kota umumnya bekerja di jalanan, di antaranya jadi peminta-minta, pemulung, pedagang asongan, pemilik warung kecil-kecilan, pekerja seks komersial, pengamen, dan kuli bangunan.

Sarkam (45) mengaku, dengan kedua kakinya yang cacat, semakin sulit baginya mendapat pekerjaan yang layak. Berulang kali usahanya untuk mencari nafkah berbenturan dengan langkah penegakan hukum oleh aparat. Sementara itu, pemerintah sendiri tidak memberikan alternatif pekerjaan bagi dia dan kaum miskin kota lainnya. ”Kalau punya modal Rp 500.000, ngasong di jalanan, tapi dikejar-kejar. Punya modal Rp 2 juta, jualan di kaki lima, ditangkap. Minta-minta di perempatan sama saja. Lalu, orang- orang seperti saya ini suruh kerja apa? Di mana?” keluh Sarkam.

Tidak bertanggung jawab

Direktur The Institute for Ecosoc Rights Sri Palupi menyatakan, masih banyak aspek hak ekonomi, sosial, dan budaya yang terabaikan. Dulu saat era pemerintah otoriter, hak sipil dan politik menjadi isu yang paling banyak mendapat perhatian. Namun, kini, seiring pengakuan hak sipil dan politik kian menguat, persoalan hak ekonomi, sosial, dan budaya belum juga mendapat perhatian yang layak.

Palupi berpendapat pemerintah tidak menjalankan tanggung jawab sebagaimana diamanatkan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Pemerintah dalam melihat persoalan kemiskinan melulu dari sisi pendapatan dan bukannya dari sisi HAM.

Indikator kemiskinan yang ditetapkan pemerintah, Palupi melanjutkan, jauh dari norma HAM dan bahkan berpotensi melanggar HAM itu sendiri. Terbukti, keluarga yang secara riil membutuhkan pelayanan terpaksa kehilangan akses akibat di luar indikator kemiskinan yang ditetapkan pemerintah.

”Indikator itu mengarahkan tindakan. Kalau tindakan jauh dari norma HAM, tanggung jawab pemerintah menjalankan HAM tak akan jalan, hanya sekadar retorika. Ini terjadi karena upaya pengentasan rakyat dari kemiskinan tidak dijalankan dalam kerangka kerja HAM, tetapi tindakan karitatif,” kata Palupi.

Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance, Didik J Rachbini, menyatakan, hak-hak dasar, termasuk ekonomi, sudah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Namun, sejauh ini pemerintah tak punya kebijakan yang memadai untuk mewujudkan hak-hak itu.

”Ada Kementerian Sosial, tapi kerjanya cuma seperti lembaga swadaya masyarakat, anggarannya juga pas-pasan. Ada Kementerian Perumahan Rakyat, tapi ngurus swasta saja,” kata Didik.

Dari Data Bulanan Sosial-Ekonomi per Oktober 2011 Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk miskin per Maret 2011 sebanyak 30,02 juta jiwa atau 12,49 persen dari total penduduk 237,5 juta orang. Artinya, angka kemiskinan turun 1 juta jiwa dibanding Maret 2010 yang jumlahnya 31,02 juta jiwa atau 13,33 persen dari total penduduk.

Sementara jumlah penduduk hampir miskin tahun 2011 bertambah 5 juta jiwa dibanding tahun lalu. Sebanyak 1 juta jiwa naik status, dari miskin ke hampir miskin. Namun, 4 juta jiwa lainnya turun status, dari tidak miskin ke hampir miskin.

(BRO/FRO/LAS)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com