Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Syal, Tak Cuma Penghangat Leher

Kompas.com - 02/04/2012, 10:34 WIB

KOMPAS.com - Di negara empat musim, syal menjadi pelengkap berpakaian pada musim dingin. Di Indonesia, syal lebih sering menjadi aksesori untuk mempercantik penampilan.

Syal atau scarf bisa berbentuk bujur sangkar atau persegi panjang. Fungsinya beragam. Selain dikenakan di leher, bisa pula dililitkan di pinggang atau disimpulkan di tas.

Syal juga bisa dibuat dari berbagai kain berbeda seperti koleksi dari Shawl & Co milik Sastri Sanjoto, Tria Andrian, Indira Tranggono, dan Kartika Mahendrasmi. Syal ini dibuat dari dua hingga empat kain berbeda jenis, salah satunya dari kain tradisional, seperti batik, lurik, atau tenun.

Sejak pertama kali dirilis pada Maret 2011, Shawl & Co memang mengusung konsep etnik modern, dengan menggunakan kain tradisional sebagai unsur utama. Kain ini kemudian dipadukan dengan jenis kain lain dalam tekstur yang berbeda, seperti bahan kaus, sutra, sifon, beludru, hingga korduroi.

Padu padannya terkesan berani dengan tabrak warna dan motif. Batik hijau, misalnya, bisa dipadukan dengan kain tenun berwarna ungu dan hijau serta kain polos ungu. Ada pula syal yang desainnya memadukan lurik dengan kain polos dan kain bermotif polkadot sebagai aksen pinggir.

Beberapa di antaranya memiliki desain berupa perpaduan beberapa kain yang dilekatkan di atas kain dasar. Namun, ada pula syal dengan jenis kain berbeda untuk kedua permukaannya. Bentuknya pun tak hanya kain yang dibentuk persegi panjang lurus. Beberapa di antaranya dibuat berkerut sehingga memunculkan tekstur unik.

Klasik dan kontemporer
Kekayaan motif dan gaya desain ini membuat Shawl & Co bisa mengakomodasi beragam selera penggemar mode, mulai dari yang klasik sampai kontemporer. Syal dengan beragam motif dan warna dalam satu desainnya juga bisa dipadupadankan dengan lebih dari satu baju. ”Kalau hanya satu motif atau satu kain, kesannya kan kuno,” kata Tria, yang membuat bisnis syal karena kebiasaan memakai syal pada musim dingin ketika tinggal di Denmark.

Syal unik juga dibuat perancang busana Dina Midiani. Selain membuat dari bahan yang utuh, seperti sifon dan tulle, Dina juga memanfaatkan sisa kain dari pembuatan baju, seperti untuk bahan batik, tenun, dan kaus.

Sisa kain ini dimanfaatkan dengan maksimal sehingga membentuk syal yang justru unik. Salah satunya yang dibuat dari sisa-sisa kaus yang bentuknya mirip rentetan petasan kecil.

Meski terkesan ”berantakan”, syal dari potongan tenun tampil menarik ketika telah dipakai. Adapun syal dari bahan tulle diberi aplikasi bunga dari bahan yang sama sehingga dari kejauhan bunga-bunga itu terlihat bergelantungan.

Dari desain yang unik inilah syal tak hanya berfungsi sebagai penghangat leher. Dina bercerita, syal kreasinya bisa berfungsi untuk mempermanis jilbab atau pengganti kalung. Ragam desainnya juga memberi pilihan untuk dikenakan dalam gaya kasual maupun formal.

Desain-desain unik ini menarik perhatian pasar di luar Indonesia. Dina, misalnya, pernah mengekspor ke Amerika Serikat, Australia, dan Jepang. Adapun produk Shawl & Co pernah dibeli konsumen dari Amerika Serikat dan Australia. ”Mereka suka karena syal di negara mereka monoton, hanya dari satu bahan, tidak modis seperti dari Indonesia,” kata Tria.

Di Indonesia, desainer dan pemilik bisnis syal meyakini produk mereka merupakan item pelengkap busana yang pasarnya bisa terus tumbuh.

Popularitas syal
Syal tak hanya dikenal ketika dikenakan Audrey Hepburn, Elizabeth Taylor, atau Grace Kelly sebagai hiasan kepala. Konon, syal telah dikenal sejak tahun 1350 Sebelum Masehi pada zaman Mesir Kuno. Pada masa itu, syal dikenakan Ratu Nefertiti, juga sebagai hiasan kepala.

Ketika berlangsung perang dunia kedua, perempuan yang bekerja di pabrik amunisi menutupi kepala mereka dengan syal agar rambut mereka tak tersangkut di mesin. Pada perkembangannya, seperti diceritakan dalam tulisan The neck’s big thing: a colourful history of the silk scarf dalam fashion.telegraph.co.uk, syal diproduksi secara massal ketika rayon mulai dikenal tahun 1930-an. Syal dari bahan rayon dipakai oleh para perempuan yang ingin mempercantik penampilannya tetapi tak mampu membeli syal dari sutra yang lebih dulu populer.

Ketika majalah-majalah mode lahir, beberapa di antaranya menulis bahwa syal bisa menjadi pilihan bagi perempuan, yang memiliki busana terbatas, untuk tampil dengan gaya berbeda. Pada era 1970-an, para perancang busana menempelkan logo perusahaan mereka dalam syal sebagai salah satu bentuk pemasaran.

Syal tak hanya dikenal di panggung mode. Di dunia olahraga, syal dengan logo dan nama klub menjadi cendera mata klub sepak bola. Perhatikan saja yang terjadi di stadion sepak bola. Ketika tim kesayangan bertanding, para pendukungnya akan bernyanyi atau berteriak memberikan dukungan sambil membentangkan syal dengan kedua tangan.

(Yulia Sapthiani/Nur Hidayati)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com