Jakarta, Kompas -
”Saya ditawari. Kamu ikut, bagaimana,” ujar Rudi di Yogyakarta, Rabu (26/9). Atas tawaran itu, Rudi akhirnya pergi ke Poso dengan beberapa orang.
Menurut Rudi, di Poso ada orang yang dapat mengajarkan merakit bahan-bahan peledak. Ia mengaku ingin pergi ke Poso karena berkembang isu bahwa Poso merupakan wilayah jihad.
Terkait temuan bahan peledak di beberapa tempat di Solo, menurut Rudi, bahan-bahan peledak itu dibuat untuk melawan orang-orang yang dianggap menghalangi aksi jihad seperti kepolisian. ”Setelah saya di sini (ditangkap), saya baru tahu gambaran polisi tidak seperti yang dibicarakan,” katanya.
Kemarin, polisi antiteror didampingi polisi dari berbagai satuan lainnya mendatangi kembali rumah terduga terorisme, Joko Tri Priyanto, di Solo dan rumah orangtua Rudi Kurnia Putra di Kabupaten Sukoharjo.
Dari rumah Joko Tri Priyanto alias Joko Parkit di Kampung Mondokan, Kelurahan Purwosari, Kecamatan Laweyan, polisi membawa barang bukti berupa pedang samurai, sejumlah pisau, linggis, celurit, dan barang-barang lain yang ditempatkan dalam tiga kardus bekas air mineral.
Sementara dari rumah orangtua Rudi di Kampung Ngruki, Cemani, Grogol, Kabupaten Sukoharjo, polisi membawa barang bukti berupa gulungan besar kapas, buku jihad berjudul Mengikuti Dulmatin dan Umar Patek dan Pemerintahan Islam, bubuk dalam botol plastik, mangkok- mangkok kaca besar, lumpang batu yang terdapat noda hitam seperti bekas menghaluskan arang, dan dua mangkok berisi sisa cairan berwarna kehijauan.
Komisaris Besar M Zarkasih dari Detasemen Khusus 88 dalam diskusi terbatas Asian Professional Security Association beberapa waktu lalu menjelaskan, jejaring teroris terus berkembang. Sebagai contoh, Upik Lawanga, buronan teroris kasus Poso, hanya butuh waktu singkat untuk melatih seseorang membuat bom.
”Kini anak didiknya sudah mendidik orang-orang baru,” kata Zarkasih.