Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nagita Slavina Tersandung Isu Cultural Appropriation, Apa Maksudnya?

Kompas.com - 03/06/2021, 13:19 WIB
Sekar Langit Nariswari,
Lusia Kus Anna

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Istilah cultural appropriation viral seiring di media sosial seiring dengan polemin penunjukkan Nagita Slavina sebagai Duta PON XX Papua.

Sosok Nagita dianggap tidak tepat sebagai representasi karena bukan Orang Asli Papua (OAP).

Alih-alih menunjuk wanita pribumi dengan kecantikan khas lokal, istri Raffi Ahmad ini malah dijadikan duta dan dipotret dengan pakaian Papua.

Banyak yang menuding, praktik ini menjadi bentuk dari cultural appropriation. Komika berdarah Papua, Arie Kriting menjadi salah satu yang mengemukakan pendapat ini melalui unggahan di akun Instagramnya.

Baca juga: Arie Kriting Protes Nagita Slavina Ditunjuk Jadi Duta PON XX Papua

"Penunjukan Nagita Slavina sebagai Duta PON XX Papua ini memang pada akhirnya dapat mendorong terjadinya Cultural Appropriation. Seharusnya sosok perempuan Papua, direpresentasikan langsung oleh perempuan Papua."

Nagita Slavina bukan satu-satunya selebritas yang pernah tersandung tuduhan ini. Sebelumnya Adele, Kendall Jenner dan Kylie Jenner juga pernah dianggap melakukan salah satu penistaan budaya ini.

Jadi, apa sebenarnya cultural appropriation alias apropriasi budaya ini?

Istilah cultural appropriation secara resmi pertama kali masuk dalam Kamus Oxford pada 2017.

Frasa ini dideskripsikan sebagai "the unacknowledged or inappropriate adoption of the customs, practices, ideas, etc. of one people or society by members of another and typically more dominant people or society.

Baca juga: Komentar Arie Kriting soal Nagita Slavina Jadi Duta PON XX Papua, Singgung Cultural Appropriation

Penjelasan ini bisa diartikan sebagai adopsi yang tidak diakui atau tidak pantas atas kebiasaan, praktik, ide, dll. dari satu orang atau masyarakat oleh anggota orang lain dan biasanya orang atau masyarakat yang lebih dominan.

Secara sederhana, praktik ini terjadi ketika seseorang mengadopsi sesuatu dari budaya yang bukan miliknya sendiri termasuk gaya rambut, pakaian, dan cara bicara.

Contohnya ketika penyanyi Justin Bieber dituding melakukan cultural appropriation ketika memakai gaya rambut dreadlocks yang identik dengan budaya orang kulit hitam.

Tudingan ini bagi sebagian orang dinilai tak berdasar. Pasalnya, era globalisasi memungkin pertukaran dan pengaruh budaya tradisional dalam bentuk-bentuk popular.

Akibatnya, ini dianggap bisa membatasi kebebasan berekspresi seseorang dan menjadi belenggu. Misalnya ketika orang tidak lagi bebas memilih kostum Halloween karena khawatir melakukan apropiasi budaya ini.

Baca juga: Melihat Kebebasan Berekspresi dari Kasus Pengunggah Guyonan Gus Dur dan Bintang Emon...

Memahami Konteks Sejarah Istilah Cultural Appropriation

Agar tak terjebak pada perilaku ini, penting bagi kita untuk memahami konteks sejarah soal praktik cultural appropriation ini.

Mengacu pada laman EverydayFeminism, apropriasi budaya tidak sama dengan pertukaran kultur.

Apropriasi mengacu pada dinamika kekuatan tertentu di mana anggota budaya dominan mengambil elemen dari budaya orang-orang yang secara sistematis ditindas oleh kelompok tersebut.

Kuncinya soal kesetaraan ras dan budaya yang sayangnya belum benar-benar terwujud di dunia ini.

Baca juga: Koleksi PakaianKoe dari Lakon, Upaya Agar Tidak Lupa Budaya Bangsa

Deskripsi ini mengacu pada laporan sosiologi yang menyebutkan soal praktik ini pada 1990-an. Awalnya dilakukan kepada masyarakat adat di sejumlah daerah seperti Kanada, Australia dan Amerika Serikat.

Para penjajah mengadopsi budaya pribumi yang dianggap menarik dan mempopulerkannya tanpa menghargai pemilik budaya aslinya.

Intinya, kelompok yang lebih terpinggirkan tidak mendapatkan suara, sementara warisan budayanya disebarkan oleh seseorang dalam posisi hak istimewa yang lebih besar.

Tujuannya bisa untuk kesenangan, model, atau ketidakpedulian tentang pentingnya penghargaan budata asli itu.

Dikutip dari laman The Week, Dr Adrienne Keene dari Native Appropriations menegaskan pola perilaku ini. "Anda berpura-pura menjadi ras yang bukan Anda dan menggunakan stereotip untuk melakukannya."

Baca juga: Banyak Dikritik, Ukiran Kayu Raksasa Melania Trump Disebut Mirip Smurf

Mirip seperti kasus Nagita Slavina yang dipotret dengan busana daerah untuk menjadi Duta Pon XX Papua.

Padahal ada banyak wanita cantik Papua lainnya yang layak untuk posisi ini seperti Nowela, Lisa Rumbewas, Putri Nere, dan Monalisa Sembor, seperti kata Arie Kriting.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com