Dengan sisa uang Rp 20 juta, ia membangun konveksi, selain meneruskan Prostreet secara perlahan.
Untuk Prostreet, dia memulainya dengan membuat 1-2 lusin kaus yang dipasarkan kepada teman-temannya.
Karena keterbatasan dana, ia melakukannya seorang diri.
Mulai dari desain, marketing, hingga mengantarkannya ke pihak ekspedisi.
Setiap hari, ia pulang ke rumah jam 2 dini hari dan jam 8 pagi sudah pergi berusaha lagi.
"Dulu istri (menegur) sampai bilang anak kamu lama-lama manggil om.''
''Empat tahun saya babak belur mulai terlihat maju pada 2017," ucap dia mengenang masa lalu.
Sejak awal, karena keterbatasan dana, pemasaran dilakukan online dengan memanfaatkan media sosial seperti Instagram.
Perlahan perusahaannya bangkit. Pesanan makin berlimpah.
Dari awalnya kaus, ia mulai bermain di hoodie, jaket, dan berbagai aksesoris motor lainnya.
Pegawai pun bertambah satu per satu.
Hanya satu yang masih dipegangnya sampai sekarang yakni desain.
Ketika pandemi melanda, bisnisnya justru semakin melejit. Sebab, dia sudah lebih dulu menjalani digital marketing alias pemasaran online.
Setiap produk yang diluncurkan habis dalam hitungan menit. Bukan hanya dari dalam negeri namun juga luar negeri.
Sayang, karena keterbatasan barang, ia tidak terlalu menggubris permintaan luar negeri. Sebab ia khawatir mengecewakan bila dilayani tidak maksimal.