"Karena tidak semua urban subversif itu diterima publik, misalnya corat-coret dinding kota ada yang tidak menyukai bahkan dihapus karena melakukan kritik kepada pemerintah," sambungnya.
Drajat juga menyebut lahirnya Citayam Fashion Week merupakan pengaruh dari street fashion.
Budaya berbusana tersebut memang sudah lebih dulu nge-hype di kalangan anak muda Amerika Serikat, Jepang, Korea Selatan, termasuk China.
Meski melahirkan selera tersendiri, ia menyebut street fashion adalah gejala di dunia yang menjadi bentuk perlawanan terhadap kemapanan struktur dari fashion.
Pasalnya masyarakat kelas menengah-bawah berusaha untuk menjangkau fashion yang selama ini lekat dengan gaya berbusana orang-orang berduit, pejabat, hingga selebritis.
Baca juga: Rekor, Harga Barang Mewah Alami Kenaikan Tertinggi Sejak 2019
"Fashion yang bagus-bagus dan terjaga 'kan ada di kelas atas jadi tidak terjangkau oleh masyarakat menengah-bawah," ujar Drajat.
"Jadi fashion itu memiliki kelas sosial. Kelas sosial bawah memang cenderung memakai fashion yang apa adanya."
"Ini menggambarkan urban subversif atau perlawanan struktur perkotaan yang sudah dikuasai kelas atas, bisa mereka lawan dengan Citayam Fashion Week," tambahnya.
Drajat menjelaskan street fashion dalam perkembangannya di banyak tempat di dunia sudah diterima oleh masyarakat.
Tidak mengherankan apabila titik-titik street fashion menjadi salah satu destinasi bagi banyak orang untuk berkunjung.
Namun, Drajat mengungkap, popularitasnya kerap dimanfaatkan sejumlah kekuatan-kekuatan besar.
Salah satunya adalah penjual produk KW atau second ekspor yang lantas mendapuk beberapa anak-anak muda supaya memakai barangnya.
Baca juga: Fenomena Sneaker KW, Model Apa yang Paling Banyak Dipalsukan?
Fenomena tersebut dapat bercampur dengan inisiatif dari anak-anak muda dan bisnis yang masuk.
"Ini yang barus dijaga karena kalau itu (barang KW dan second ekspor) masuk, maka ruang urban subversif atau inisiatif masyarakat bisa hilang, tandas Drajat.