Energi dari generasi neo alpha telah tertahan dalam berbagai restriksi selama masa pandemi Covid-19. Laptop atau telepon genggam adalah satu-satunya media katarsis energi yang mereka bisa gunakan selama masa restriksi serta pembatasan sosial yang berlangsung hampir tiga tahun lamanya.
Seperti sebuah tali busur panah yang ditarik kencang sepanjang tiga tahun, kini busur panah tersebut terlepas, melesat begitu kencang menabrak apapun yang menghadangnya. Gen neo alpha haus akan tekstur dari kehidupan remaja yang selama ini belum mereka rasakan.
Para neo alpha memenuhi setiap festival musik yang bisa mereka hadiri, walaupun band yang tampil terpaut jauh dari era mereka. Geng-geng di sekolah bermunculan sebagai sebuah simulasi pembentukan identitas, hubungan pacaran di kalangan remaja menjadi ekstensif hingga membingungkan para guru, tawuran pelajar kembali menjadi masalah di tengah ruang kota.
Fenomena itu terjadi karena para stakeholder dari generasi muda belum siap dengan ruang maupun aktivitas penyaluran energi dari kaum neo alpha yang tertahan selama pandemi.
Generasi neo alpha kembali ke modul pergaulan remaja yang mirip dengan remaja di era 80-an hingga awal 90-an. Mereka ingin mengisi tabula rasa yang belum memiliki tekstur dalam rangka mencari jati diri secara radikal melalui berbagai ruang sosial.
Asumsi bahwa para neo alpha adalah generasi rebahan serta apatis secara sosial adalah asumsi yang kurang tepat. Generasi ini adalah generasi yang tengah bergulat mencari life balance dan identitas diri yang lebih utuh.
Menempatkan para neo alpha dalam gerbong revolusi industri 4.0 dan menuntut mereka untuk bisa lebih cakap dari artificial intelligence justru akan menimbulkan ketidakseimbangan mental yang lebih dahsyat pada diri mereka.
Generasi neo alpha membutuhkan sebuah ruang kolektif di tengah kehidupannya, yaitu, ruang di mana anak muda dari berbagai kelas sosial maupun latar belakang etnis dapat secara inklusif tampil untuk berbagi pengetahuan, karya, pemikiran, hingga keresahan.
Ruang kolektif tidak mesti mewah dengan rumput sintetis, bean bag, maupun memiliki bentuk ruangan yang instagrameable. Ruang kolektif sendiri telah bermunculan secara sporadis di berbagai sudut kota sebagai oase bagi anak muda dengan menggunakan ruang garasi hingga ruang keluarga dari hunian biasa.
Ruang kolektif adalah ruang di mana generasi neo alpha dapat menemukan identitas dirinya secara aman dengan menampilkan diri dan melihat penampilan dari teman seusianya.
Generasi neo alpha adalah generasi yang rindu akan suasana keluarga, sebab mereka tumbuh besar pada sebuah zaman di mana sosok ayah dan ibu sibuk dengan berbagai kegiatan ekonomi. Keluarga tidak lagi menjadi sebuah institusi sosial yang utuh.
Tradisi bincang keluarga di tengah santapan malam menjadi langka, walaupun terlaksana bincang keluarga kerap terdistraksi dengan perilaku kompulsif untuk melihat telepon genggam masing-masing anggota keluarga.
Generasi neo alpha, sekali lagi adalah generasi yang tengah mencari life balance dan jati diri, mereka teramat membutuhkan sudut pandang orang tua sebagai asupan nilai-nilai kehidupan mereka.
Keberhasilan dari generasi neo alpha di masa mendatang di luar dugaan lebih bergantung pada kemampuannya untuk berempati terhadap generasi pendahulunya. Sebab, keberhasilan seseorang dalam mengarungi berbagai gelombang krisis yang kini tengah menerpa manusia abad 21 hanya bisa dicapai dengan menggunakan kearifan generasi terdahulu.
Hal ini dikemukakan seorang futurolog AS bernama Ari Wallach melalui bukunya The Long Path: Becoming the Ancestors Our Future Needs”. Wallach menekankan bahwa permasalahan krisis iklim, transisi energi, kepunahan biodiversitas, krisis kesehatan, hingga perang tidak bisa diselesaikan dengan cara berpikir pintas.