Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Psikolog Ungkap Cara Memutus Rantai Fatherless, Cegah Anak Tumbuh Tanpa Figur Ayah

Kompas.com, 27 Oktober 2025, 09:05 WIB
Nabilla Ramadhian,
Bestari Kumala Dewi

Tim Redaksi

Konsultasi Tanya Pakar Parenting

Uraikan lika-liku Anda mengasuh anak jadi lebih simpel

Kenali soal gaya asuh lebih apik lewat konsultasi Kompas.com

JAKARTA, KOMPAS.com - Fenomena fatherless adalah ketika seorang anak tumbuh tanpa sosok ayah yang hadir secara fisik maupun emosional, karena beragam faktor, mulai dari sibuk bekerja sampai bercerai.

Fenomena yang masih menjadi tantangan dalam berbagai keluarga ini bisa dikatakan sebagai “lingkaran setan”, karena berpotensi terus berlanjut dari satu generasi ke generasi berikutnya, jika tidak disadari dan ditangani sejak dini.

Menurut psikolog klinis Widya S. Sari, M.Psi, lingkaran fatherless bisa dihentikan, apabila setiap pihak yang terlibat dalam suatu hubungan menyadari dan memahami situasi fatherless.

Baca juga: 5 Faktor Penyebab Fatherless di Indonesia, Perceraian Jadi yang Pertama

“Kalau bukan kita yang memulai, siapa lagi? Jadi, mulai dari kesadaran. Kita memulai dari memahami situasi yang sedang dihadapi, memaknai fatherless itu seperti apa,” ujar dia di Jakarta, Kamis (23/10/2025).

Ilustrasi keluargaTanoto Foundation Ilustrasi keluarga

Memahami fatherless demi pola asuh yang seimbang

Memahami dan memaknai fenomena fatherless bukan sekadar mengetahui bahwa seorang anak tumbuh tanpa figur ayah.

Namun, memahami dan memaknai fenomena fatherless juga mencakup mengetahui betapa buruk dampaknya bagi tumbuh kembang anak, yang mana akan berbeda pada anak laki-laki dan perempuan.

Dari sana, orangtua dan calon orangtua bisa mendiskusikan situasi pengasuhan seperti apa yang seimbang dan tidak seimbang, agar anak tidak tumbuh tanpa figur ayah.

“Kita memaknai situasi pengasuhan yang tidak seimbang atau tidak proporsional seperti apa. Kita bergerak mulai dari sana,” terang Widya.

Dimulai dari orang yang memahaminya

Ilustrasi keluarga.Dok. Shutterstock Ilustrasi keluarga.

Widya mengungkap, banyak kasus fatherless diketahui oleh orang lain yang melihat dampaknya pada anak, bukan anak yang menyadari sendiri dampak dari fenomena fatherless yang ia rasakan.

Baca juga: Cegah Fatherless, Ibu Perlu Beri Ayah Kesempatan Mengurus Anak

Inilah mengapa penting bagi orang dewasa di sekitar anak-anak, terutama ayah dan ibu dan calon orangtua, untuk memahami dan memaknai fatherless untuk memutus rantai tersebut.

“Artinya, perlu bergerak dari orang-orang yang mungkin bisa mengenali isu itu dulu. Keputusan untuk pulih, untuk bergerak ke arah yang mungkin lebih konstruktif, diawali dari pemahaman bahwa kita perlu menuju ke sana,” ujar Widya.

Pasalnya, terutama pada anak perempuan, salah satu dampak fatherless adalah mereka bisa tumbuh dengan kurang percaya diri dan selalu membutuhkan validasi dari laki-laki.

Mereka bisa tumbuh dengan sifat selalu haus akan kasih sayang dari laki-laki, sehingga berpotensi dimanipulasi oleh pasangannya.

Ilustrasi keluarga Muslimfreepik.com Ilustrasi keluarga Muslim

Pada orangtua atau calon orangtua yang sudah memahami dan mampu memaknai fenomena fatherless, mereka bisa mencegah dampak ini lebih awal.

Baca juga: Anak Fatherless Masih Bisa Bangkit dan Dekat Kembali dengan Ayah di Masa Dewasa

Bekali diri dengan edukasi tentang pola asuh anak

Saat ini, informasi apapun sangat mudah untuk diakses di mana saja. Orangtua atau calon orangtua perlu memanfaatkannya untuk mencari konten edukasi tentang pola asuh anak.

Jadi, mereka mengetahui apa yang dibutuhkan oleh anak agar mereka tidak tumbuh sebagai korban fenomena fatherless, karena peran ayah dan ibu dalam mengasuh mereka seimbang.

Let’s educate ourselves dulu, supaya kita juga bisa memahami apa sih yang dibutuhkan oleh anak, apa yang dibutuhkan dalam pengasuhan, tugas apa yang bisa didiskusikan,” tutur Widya.

Soal tugas dalam mengasuh anak, ia menyentil beberapa orang yang masih mengkotak-kotakkan peran ayah dan ibu dalam berumah tangga.

“Kalau ayah bekerja di kantor membaca koran, ibu menyapu dan memasak. Kalau sekarang, peran itu sudah tidak lagi terkotak-kotakkan seperti itu. Dan kalau nanti memutuskan untuk punya anak, hal ini perlu disepakati dengan pasangan,” ujar Widya.

“Jadi, mulai dari kesadaran diri, mulai dari mengedukasi diri sendiri, kemudian diskusikan dengan orang-orang yang mungkin akan terlibat dalam perjalanan hidup kita ke depannya,” sambung dia.

Sebab, luka masa lalu tidak menentukan masa depan. Ayah dan ibu yang menjadi korban fenomena fatherless tidak perlu menuntun anak ke jalan yang sama.

Baca juga: Anak Laki-laki dari Keluarga Harmonis Juga Bisa Jadi Sosok Fatherless, Psikolog Ungkap Sebabnya

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang



Terkini Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau