Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Gempa Lombok: Bukan Sekadar Retaknya Jalanan dan Runtuhnya Rumah

Kompas.com, 24 Agustus 2018, 07:47 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KOMPAS.com - Saya menulis artikel ini di malam terakhir setelah seminggu bergulat dengan segala sesuatu yang bisa berubah setiap saat. Lombok yang tadinya saya kenal sebagai saudara kembar Bali, mendadak luluh lantak dengan amat mengerikan.

Bagi orang kota seperti saya yang pernah mengalami gempa hanya seperti ayunan vertigo, gempa Lombok memberi fenomena baru di skala 6 Richter keatas.

Tanah bukan hanya bergeser cepat seperti orang sedang mengayak, tapi juga bantingan dari atas kebawah dengan kecepatan tinggi.

Masih terbayang saat membaringkan tubuh dalam tenda di atas tanah keras, mendadak terasa getaran yang dalam hitungan detik intensitasnya kian keras disertai suara gemuruh.

Baca juga: Pangan ?Ultra-Proses?: Sukses Ekonomi Berbuah Kematian Dini

Lalu teriakan penduduk “Allahuakbar…” yang kebingungan entah mau ke mana, selain melihat sisa bangunan kembali runtuh untuk ke sekian kalinya. Rumahnya sendiri, yang dibangun dengan susah payah – setelah rezeki bertahun-tahun dikumpulkan.

Tatapan kosong yang sudah tidak bisa lagi mengekspresikan kesedihan, semakin terasa menakutkan bagi relawan mana pun.

Barangkali, jika gempa tidak datang sehebat itu, para relawan pejuang gizi tak akan menyadari masalah besar yang menghantui masa depan penerus generasi.

Kelihatannya makanan bayi dan balita tak terdampak, karena sejujurnya dalam kondisi normal mereka sudah diberi bubuk kemasan bahkan sejak usia 3 bulan.

Padahal, secara umum Makanan Pendamping ASI (MPASI) rata-rata baru diberikan di usia 6 bulan.

Pencegah stunting yang sebenarnya: bubur saring setengah gelas, tiga kali sehari, dengan istilah ‘menu 4 bintang’ – terdiri dari makanan pokok, protein hewani, protein nabati, sayur, dan buah.

Baca juga: Teror Kekisruhan Pangan, Bomnya Meledak Kemudian

Pada usia 9 bulan, menu sehat ini berubah menjadi tim atau cincang hingga usia 12 bulan. Di usia setahun, anak meneruskan 4 bintangnya dengan makanan padat seperti orangtuanya, walaupun dengan pembagian proporsi yang tentunya menyesuaikan masa tumbuh kembang.

Selama kami menyisir Lombok Utara danTimur yang sama-sama terdampak gempa yang amat parah, tidak ada satu bayi pun diberi makan ibunya dengan bubur saring.

Ketika kami membuat dapur umum khusus makanan bayi, kader posyandu seakan baru pertama kali belajar, hingga tergagap-gagap.

Bahkan, ada komentar heran – mengapa jika hidup bisa dibuat praktis tapi malah jadi kembali ribet.

Ketika saya balik bertanya, mengapa memilih bubur kemasan, jawaban mereka membuat kami hampir menangis.

“Kami ini orang bodoh, bu dokter. Yang membuat bubur instan ini kan orang-orang cerdik pandai, yang pasti lebih tahu mana yang terbaik buat bayi kami, dan sudah diberi izin BPOM pula. Masa kami tak percaya?” jawan mereka.

Baca juga: Mengapa Harus Mengandalkan Makanan Kemasan di Negeri yang Kaya?

Pernyataan yang jauh dari pemberdayaan diri, apalagi bicara soal pembangunan masa depan keturunan mereka.

Saat tenaga kesehatan lelah mengajarkan, bahwa sebaiknya bayi tidak diberikan gula dalam makanannya, bubur kemasan sudah menabur 4 gram gula untuk satu kali makan.

Bisa dibayangkan, 3 kali makan seorang bayi di usia 6 bulan sudah mengasup 12 gram gula.

Sementara organisasi kesehatan dunia WHO menyerukan agar orang dewasa tidak mengonsumsi lebih dari 25 gram gula (termasuk gula tersembunyi dalam pangan harian yang secara alamiah terdapat dalam pangan alami) – jika tidak mau berujung pada kegemukan, masalah metabolisme, diabetes, hipertensi dan segudang penyakit di usia dini.

Baca juga: Kesehatan, Lahan Rentan Bisikan

Lombok yang kaya dengan hasil bumi merupakan contoh tragis, di mana ubi terenak dan terbaik dianggap kampungan.

Sehingga, industri pangan membeli dengan harga yang begitu murah dan kembali ke tangan penduduk sebagai keripik ultra proses dengan macam-macam imbuhan yang tubuh tidak butuhkan.

Saya melihat dengan rasa miris, anak-anak jajan hanya bermodalkan 500 hingga 1000 rupiah saja untuk berbagai kemasan, yang saya sendiri tidak pernah melihatnya di Jakarta.

Fenomena di atas dengan mudah ditemukan di Sembalun, Lombok Timur – dimana begitu banyak orang asing berkunjung menikmati 10 derajat Celsius di tanah tropis setiap pagi, dengan pemandangan eksotis gunung Rinjani di depan mata.

Kemudahan akses transportasi dan infrastruktur membuat desa terpencil ini begitu terbuka – bukan perkara turisme belaka, tapi juga terbuka lebar tanpa saringan untuk semua pengaruh termasuk pergeseran budaya.

Mereka melihat orang asing begitu praktisnya mengunyah makanan kemasan dan nampak modern. Satu hal yang tidak mereka sadari: budaya makan seperti apa yang sesungguhnya terjadi di negeri asal orang-orang asing itu.

Baca juga: Ketika Hasil Panen Sekadar Komoditi, Bukan untuk Konsumsi Demi Gizi

Halaman:


Terkini Lainnya
Remaja Mudah Stres karena Media Sosial? Psikolog Ungkap Pemicunya
Remaja Mudah Stres karena Media Sosial? Psikolog Ungkap Pemicunya
Wellness
Takut Berotot? Irsani Luruskan Mitos Latihan Beban untuk Perempuan
Takut Berotot? Irsani Luruskan Mitos Latihan Beban untuk Perempuan
Wellness
Efek Berbahaya Gigi Berlubang, Salah Satunya adalah Penyakit Jantung
Efek Berbahaya Gigi Berlubang, Salah Satunya adalah Penyakit Jantung
Wellness
Waspadai 7 Tanda Bos yang Toxic, Bisa Ganggu Kesehatan Mental
Waspadai 7 Tanda Bos yang Toxic, Bisa Ganggu Kesehatan Mental
Wellness
4 Cara Aman Hadapi Kekerasan Berbasis Gender Online
4 Cara Aman Hadapi Kekerasan Berbasis Gender Online
Wellness
Saat Ibu Kehilangan Diri Pasca Melahirkan, Latihan Beban Justru Menyelamatkan Irsani
Saat Ibu Kehilangan Diri Pasca Melahirkan, Latihan Beban Justru Menyelamatkan Irsani
Wellness
Ramalan Zodiak Libra di Bulan Desember, Peluang Baru Menanti
Ramalan Zodiak Libra di Bulan Desember, Peluang Baru Menanti
Wellness
Cara Cinta Laura Atasi Insecure dan Membangun Percaya Diri
Cara Cinta Laura Atasi Insecure dan Membangun Percaya Diri
Beauty & Grooming
Dampak Jangka Panjang Screen Time, dari Gangguan Fisik hingga Perilaku
Dampak Jangka Panjang Screen Time, dari Gangguan Fisik hingga Perilaku
Parenting
Sering Scroll Medsos, Remaja Jadi Mudah Mencari Validasi Menurut Psikolog
Sering Scroll Medsos, Remaja Jadi Mudah Mencari Validasi Menurut Psikolog
Wellness
Dari Body Shaming Rita Sukses Capai Berat Badan Ideal Tanpa Olahraga
Dari Body Shaming Rita Sukses Capai Berat Badan Ideal Tanpa Olahraga
Wellness
Mengapa Efek Screen Time pada Kemampuan Bahasa Anak Bisa Berbeda-beda
Mengapa Efek Screen Time pada Kemampuan Bahasa Anak Bisa Berbeda-beda
Parenting
Cinta Laura Tak Tergiur Cara Instan Dapatkan Kulit Glowing
Cinta Laura Tak Tergiur Cara Instan Dapatkan Kulit Glowing
Beauty & Grooming
Luna Maya Ungkap Efek Rutin Minum Vitamin Kulit untuk Perlambat Penuaan
Luna Maya Ungkap Efek Rutin Minum Vitamin Kulit untuk Perlambat Penuaan
Beauty & Grooming
Cerita Sari, Ibu Mertua yang Menguatkan Langkah Menantunya Jadi Ibu Bekerja
Cerita Sari, Ibu Mertua yang Menguatkan Langkah Menantunya Jadi Ibu Bekerja
Parenting
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau