Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Teror Kekisruhan Pangan, Bomnya Meledak Kemudian

Kompas.com, 19 Mei 2018, 19:35 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KOMPAS.com - Jika mau dibilang judul tulisan mencatut momen kegaduhan sosial, bolehlah. Tapi bagi sebagian besar orang yang tidak paham, izinkan saya menjelaskan analoginya.

Ada kemiripan perjalanan historis antara penyebab teror bom dan aliran yang diyakini secara spiritual, dengan perjalanan penyakit yang akan (bahkan sudah) anak-anak kita tuai sesuai keyakinan ideologi mereka tentang istilah pangan sehat.

Baru saja kemarin saya menangani remaja laki-laki berusia 16 tahun dengan kegemukan dan sudah menderita diabetes yang sudah berjalan 2 tahun terakhir, menurut ibunya.

Tidak ada perbaikan fisik, bahkan tubuhnya semakin menggemuk dan fokus belajar kian melorot.

Edukasi pola makan yang dipahaminya sebatas ‘boleh makan apa saja, asal terukur dan terkendali’. Dan sederet syahadat klasik aturan makan, seperti kelas gizi semester dua.

Yang ujung-ujungnya sang ibu masih bertanya dengan putus asa, ”Dok, anak saya sukanya nasi goreng dan roti putih berselai coklat untuk sarapan. Terus, bagaimana membuat nasi goreng dan roti putih selai coklat yang sehat?”

Mencari jawabnya sama seperti menghadapi pertanyaan, bagaimana pergi ke pasar becek tanpa harus kena becekan dan baju menyerap bau pasar.

Baca juga: Mengapa Harus Mengandalkan Makanan Kemasan di Negeri yang Kaya?

Semakin diamati, semakin horor jika kita menyadari para ibu dan orangtua yang hari ini anaknya berusia remaja, ternyata tidak mempunyai ideologi pangan sehat.

Mereka adalah generasi yang 20 tahun lalu masih berstatus pelajar SMA atau mahasiswa yang bukan hanya tidak lagi mendapat pemahaman Pancasila, tapi juga larut dalam euforia kebebasan mau apa saja. Termasuk bebas makan sesuka hati.

Reformasi bukan hanya ditandai oleh hak azasi manusia yang dibentuk sesuai selera dan pemerintah alergi disebut otoriter.

Tapi juga pemerintah kehilangan nyali untuk memberi batasan linguistik antara istilah perlindungan, pengayoman dan pelarangan. Khususnya di area konsumsi pangan – sebagai pertahanan kehidupan di lini terdepan.

Kebebasan berbicara dan berekspresi yang kebablasan membuat iklan pangan industri menggila, dan publik tidak menyadari bahwa korporasi industri pangan semakin mencengkram menciptakan kecanduan baru, ideologi baru tentang makan dan apa yang seharusnya dimakan.

Sebagian kecil kelompok sudah berteriak sebatas pangan bayi dan pembatasan iklan vulgar (bukan karena mempertontonkan aurat melainkan kebohongan publik yang makin liar) – pemberi ilusi bahwa anak cerdas dan sholeh berkat konsumsi produk pabrik.

Baca juga: Kesehatan, Lahan Rentan Bisikan

Halaman:


Terkini Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau