Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Teror Kekisruhan Pangan, Bomnya Meledak Kemudian

Kompas.com - 19/05/2018, 19:35 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

 

Di sisi lain, hujan iklan dan promosi ngawur tentang pangan yang menimpa remaja tak kalah dahsyatnya.

Rasa ingin tahu yang tidak tersalurkan di bidang yang lebih bermanfaat membuat mereka menjajal sensasi lidah dan eksplorasi pengalaman baru di bidang kuliner.

Ada industri bermain di balik itu. Bukan cuma industri komunikasi, tapi justru industri penyedia apa yang dikonsumsi.

Dalam waktu singkat, ideologi ‘gizi demi prestasi tinggi’ yang baru seumur jagung pemahaman dasar fondasinya itu, dilahap habis oleh pelaku bisnis yang katanya turut ‘merangkul program pemerintah’ berbasis pangan lokal.

Seminar digelar, sosialisasi membagi-bagi jinjingan berisi promosi dimulai: dari kemasan teh sarat bergula melebihi ketentuan WHO, hingga camilan yang juga dikritisi WHO mengandung lemak buatan, penyebab serangan jantung sekian puluh tahun kemudian.

Gencarnya ahli gizi pembela industri tidak berimbang dengan ahli gizi yang meletakan ideologi pangan sehat di tatanan yang beretika.

Baca juga: Kalau Bukan Tubuhnya Kerdil, Umurnya yang Kerdil

Pemerintah sebagai wasit kerap kewalahan menjadi penengah, bahkan lebih sering terpesona dengan pasukan pembawa sponsor dan janji.

Yang perlu disayangkan, tidak banyak kondisi kamar praktek terpapar di sana. Angka-angka bisu hanya memberi teror saat riset kesehatan dasar 5 tahun sekali disajikan, tentang insiden penyakit jantung, stroke, hipertensi, diabetes dan kanker.

Silakanlah industri berkiprah, seperti halnya di negara-negara maju, jika remaja kita sudah fasih mengunyah sayur dan mahasiswa yang lembur berbekal buah.

Ini saja kita masih gagap dengan pembagian ‘Isi Piringku’ yang belum genap setengah tahun. Sangat mengerikan, jika porsi pangan sehat digeser oleh camilan yang ‘dianggap sehat’.

Atau, jika memang industri pangan sudah begitu "kebelet" dengan penjualan, ketimbang menghujani anak negri sendiri, jadikanlah produk itu sebagai komoditi ekspor.

Jika memang betul bergizi dan baik untuk kesehatan, apalagi harganya ekonomis, pasti jadi rebutan pangsa pasar internasional

Teori relativitas moral yang dipahami secara keliru membuat manusia semakin kocar-kacir menemukan makna hidupnya.

‘Apa yang baik dan benar bagi kamu, belum tentu baik dan benar bagi saya’ bagai gayung bersambut sejak Indonesia memasuki era baru 20 tahun yang lalu.

Tak ayal, di dunia kesehatan dan patokan hidup sehat pun terkena dampak degradasi istilah yang dahulu disebut ‘semestinya’ mengalami eufemisme alias penghalusan ‘sebaiknya’.Baca juga: Ketika Hasil Panen Sekadar Komoditi, Bukan untuk Konsumsi Demi Gizi

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com