Uraikan lika-liku Anda mengasuh anak jadi lebih simpel
Kenali soal gaya asuh lebih apik lewat konsultasi Kompas.com
JAKARTA, KOMPAS.com – Ada dua tipe kepribadian anak, yaitu “anak mudah” dan “anak sulit”. Keduanya bukanlah pengelompokkan antara anak baik dan buruk.
Namun, dua tipe kepribadian itu mengacu pada pembawaan dan sifat anak.
Banyak orangtua mengira, memiliki anak dengan tipe kepribadian anak sulit membuat mereka tidak memiliki me time atau waktu luang untuk diri sendiri.
Adapun, anak sulit adalah anak dengan permasalahan fisik dari lahir, atau permasalahan lainnya dari lingkungan dan pola asuh, yang mengharuskan mereka untuk lebih berupaya dalam mengejar sesuatu.
Beberapa ciri-ciri anak sulit di antaranya adalah sensitif terhadap suara atau memiliki pencernaan yang sensitif, rewel, penyakitan, sifatnya keras, susah tidur, sering bercanda dan berujung pada lalai, cukup aktif, terkadang pelupa, dan sulit berkonsentrasi.
Sedangkan ciri-ciri anak mudah adalah kebalikan dari anak sulit.
“Tentu saja, orangtua agak lebih santai pada anak mudah, karena orangtua jadi bisa memiliki me time. Tapi, kita juga perlu sadari bahwa untuk anak sulit, orangtua akan berupaya lebih (untuk memiliki me time),” kata psikolog klinis Emmaretha MW, M.Psi. dalam diskusi daring, Kamis (7/11/2024).
Artinya, orangtua harus optimis dan semangat untuk menjaga kesehatan mental anak.
Caranya, pastikan mereka bisa mengejar sesuatu yang ingin dicapai, seperti anak dengan kepribadian anak mudah.
Misalnya dengan membantu anak dalam mengingat pelajaran lewat pengulangan atau penggunaan alat peraga.
Ketika orangtua berupaya lebih ekstra dalam memahami dan membantu anak sulit, mereka bisa lebih mengenal bagaimana cara anak berinteraksi dan belajar.
“Kita harus berkorban. Ada skala prioritas yang harus dikorbankan setelah kita bisa menerima bahwa anak kita tipe kepribadiannya anak sulit,” tutur Emmaretha.
Baca juga: 5 Pembelajaran bagi Orangtua untuk Bentuk Kepribadian Anak
Anak sulit bisa anteng ketika cara berinteraksi dan belajarnya dipahami oleh orang-orang di sekitarnya, termasuk orangtuanya. Kondisi itu merupakan celah bagi ayah dan ibu untuk mengambil me time.
Namun, tidak bisa dipungkiri ada orangtua yang lebih memilih melakukan aktivitas dengan melibatkan anaknya, ketimbang me time sendiri.
Jika demikian, Emmaretha menyarankan, untuk melakukan kegiatan yang berguna bagi kehidupan sang anak, guna mengembangkan kemampuan potensi di luar dunia akademis.
“Bekali dengan belajar masak bareng, diajak main atau berolahraga, ngobrol bahas apa. Tapi harus diingat, anak yang sehat secara mental adalah anak yang bahagia,” kata dia.
Artinya, kegiatan yang dipilih harus bisa membuat anak merasa senang. Ketika mereka tidak bisa melakukan sesuatu dalam kegiatan tersebut, orangtua sigap untuk membantu mereka.
Apabila anak sempat menangis karena merasa tidak bisa melakukannya, mereka bisa kembali ceria karena dibantu orangtuanya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang